Mediaapakabar.com-Delilah awalnya dirancang Israel untuk program kendaraan udara tak berawak (UAV) pada akhir tahun 1970-an. Drone dirancang untuk bertindak sebagai umpan pertahanan udara lawan sehingga pesawat berawak dapat lebih mudah menembus wilayah musuh.
Setelah Angkatan Udara
Israel menderita kerugian besar karena sistem anti-pesawat Mesir dan
Suriah dalam Perang Yom Kippur, konsep umpan dibatalkan dan diubah menjadi
senjata yang bisa menetralkan pertahanan udara.
Rudal mulai beroperasi pada awal 1994. Delilah pada awalnya
dipasang pada pesawat F-4 Phantom. Namun, seiring berjalannya waktu, varian
rudal telah disesuaikan dengan F-16 Fighting Falcon, Super Phantom, F-16D
Brakeet, dan F-161 Sufa. F-16D menjadi yang paling khas karena bisa membawa dua
misil masing-masing di bawah setiap sayap.
Awalnya merupakan rudal jelajah yang diluncurkan dari udara,
Israel sejak itu mengembangkan varian darat yang disebut Delilah-GL dan varian
kapal yang dikenal sebagai Delilah-SL. Selain itu juga ada varian yang
diluncurkan dari helikopter. Pada 1995 Israel juga memperkenalkan varian
Delilah-AR [anti-radiation].
Meski versi upgrade secara visual identik dengan rudal asli, IAF
mengklaim perbedaan antara model yang direkayasa di Israel “sangat mendasar
sehingga mereka dapat dilihat sebagai jenis rudal yang sama sekali berbeda.
Saat ini, Delilah
menggunakan teknologi otonom untuk mencari, mengidentifikasi, dan berkeliaran
di atas target. Kemampuan untuk berkeliaran, lebih umum dikaitkan dengan UAV,
memberikan operator rudal opsi untuk melakukan beberapa lintasan melewati
target sebelum melakukan serangan.
Selain itu juga memudahkan untuk menemukan target yang
disamarkan atau bergerak, seperti pertahanan udara mobile dan platform
artileri.
Karena mirip dengan drone TAAS-Israel Industries yang
memproduksi Delilah enggan menyebutnya sebagai rudal jelajah tetapi memilih
menggunakan istilah ‘air-to-ground standoff powered UAV’. (Jejaktapak)