Masalah Over Kapasitas di Rutan dan Lapas, Ini Kata Karutan Tanjung Gusta Medan

REDAKSI
Kamis, 07 Oktober 2021 - 06:32
kali dibaca

Ket Foto : Kepala Rutan Kelas I Tanjung Gusta Medan, Theo Adrianus Purba saat menerima silaturahmi Forum Wartawan Hukum (Forwakum) Sumut.


Mediaapakabar.comPersoalan over kapasitas penghuni rutan dan lapas di sebagian besar provinsi/kota di wilayah Republik Indonesia, memang tak bisa dipungkiri memunculkan permasalahan baru yang semakin kompleks ibarat penyakit akut yang sulit terobati.

Para pemangku jabatan yang merasakan secara langsung mengemban tugas menangani dan membina para “pelaku kejahatan” di rutan dan lapas, kini turut mengemukakan gagasan positif sebagai upaya mengatasi akar masalah over kapasitas yang sejauh ini nyaris tak menemukan solusi.


Sebagaimana gagasan Kepala Rutan Kelas I Tanjung Gusta Medan, Theo Adrianus Purba ketika berdiskusi tentang persoalan over kapasitas rutan bersama sejumlah wartawan tergabung dalam Forum Wartawan Hukum Sumut, di taman Rutan Kelas I Tanjung Gusta Medan, Selasa (5/10/2021) lalu.


Theo Adrianus Purba berpendapat bahwa penanganan over kapasitas rutan dan lapas sangat perlu implementasi Restorative Justice secara nyata dalam proses penegakan hukum di Republik Indonesia. Menurutnya hukuman pidana penjara tak selalu menjadi solusi dalam penegakan hukum sejumlah kasus kejahatan yang terjadi negeri ini.


“Persoalan over kapasitas ini bukan lagi masalah baru, malah kita semua sudah tau sama tau lah masalah itu umum di sebagian besar rutan maupun lapas di Indonesia apalagi kondisi abnormal masa pandemi ini. Tapi sebenarnya kalau membahas penanganan over kapasitas, sangat penting merancang implementasi Restorative Justice secara nyata dalam proses penegakan hukum di negeri ini,” ungkapnya.


Dikatakan Theo, sebagai langkah upaya mengimplementasikan Restorative Justice secara nyata dalam proses penegakan hukum tersebut, rancangan Undang-undang KUHP Nasional perlu segera disahkan.


Karena salah satu wujud Keadilan dalam UU KUHP Nasional dijelaskannya juga merujuk adanya pidana alternatif yang sangat mungkin diberlakukan dalam penegakan hukum sejumlah kasus kejahatan. Sebagaimana pidana alternatif yang telah diterapkan dalam sistem penegakan hukum sebagian besar negara maju.


Pidana alternatif yang dimaksud itu dijelaskan Theo, lebih bersifat sanksi sosial semisal berupa hukuman kerja sosial, kewajiban menjalankan tugas pelayanan publik tertentu tanpa pamrih, hingga membayar denda dengan taksasi nominal sesuai tindak kejahatan yang dilakukan.


Apalagi jika pola penegakan hukum tersebut memungkinkan bisa berfungsi sekaligus mendukung program sosial pemerintah dan negara. Khususnya dalam upaya meningkatkan pelayanan publik tanpa harus mengeluarkan anggaran membayar sumber daya manusia.


“Jadi pidana penjara tak selalu jadi solusi dalam penegakan hukum kasus kejahatan, harusnya juga tidak semua perkara mesti diajukan ke pengadilan. Bayangkan saja misalnya, selain wajib mengembalikan uang negara, koruptor juga dihukum membersihkan fasilitas umum publik seperti di pasar tradisional selama bertahun-tahun. Mampus kali pasti rasanya kan,” ketus Theo dengan kelakar gelak tawa.


Theo juga mencontohkan sejumlah kasus pidana yang terbilang dilematis namun pelakunya berujung di penjara hingga akhirnya menambah kapasitas penghuni rutan. Terlebih para pelaku kasus kejahatan itu menjadi “pemasok” terbesar kapasitas jumlah penghuni rutan meskipun layak menjalani pola hukuman alternatif sebagai wujud keadilan


“Bukan menganggap kasusnya sepele ya, tapi seperti contoh kasus narkoba. Banyak para pemakai narkoba yang sebenarnya layak direhabilitasi tapi dihukum seperti bandar. Akhirnya para pelakunya menjadi penghuni rutan selama bertahun-tahun dan tidak sedikit jumlahnya. Kasus lainya lagi seperti pencurian yang kerugiannya tak sampai puluhan juta, bahkan ada yang tak sampai jutaan rupiah tapi hukumannya maksimal,” bebernya.


Lebih jauh dikatakan Theo yang mengaku telah merasakan suka duka selama 21,5 tahun mendedikasikan diri dalam pembinaan kepada warga binaan, tugas membina orang-orang yang dinyatakan bersalah dalam menjalani kehidupan juga perlu dengan sentuhan cinta.


Dengan kapasitas Rutan Klas I Tanjung Gusta Medan yang saat ini dihuni 4.300 warga binaan, menurutnya banyak hal yang harus dimengerti dengan kepekaan hati dan perasaan. 


Dalam hal bagaimana memastikan kesehatan jasmani dan rohani para warga binaan, hingga soal kebutuhan mendasar sehari-harinya sebagaimana manusia seperti masyarakat lain pada umumnya.


“Sebenarnya ini tanggung jawab moril kita semua. Bagaimana cara kita menangani dan menyikapi berbagai permasalahan mereka, kita juga harus menyelami karakter mereka. Intinya Kita juga harus berupaya memanusiakan manusia lah meskipun dengan segala latar belakang kasus kejahatan yang mereka lakukan,” lirih Theo


Pada kesempatan yang sama dalam silaturahmi dan diskusi tersebut, Ketua Forum Wartawan Hukum Sumut, Aris Rinaldi Nasution menyampaikan rasa terima kasihnya mewakili seluruh wartawan anggota Forwakum yang hadir berbincang berbagi Pengalaman dengan Theo Adrianus.


"Forwakum Sumut mengucapkan terima kasih sekaligus mengapresiasi atas capaian dan etos kerja bapak sebagai Karutan Tanjung Gusta yang telah berupaya mengedepankan rasa kemanusiaan dalam menangani warga binaan di kondisi abnormal dan over kapasitas. Semoga tetap komunikatif berdiskusi serta bersilaturahmi dengan rekan wartawan untuk menyampaikan gagasan positif maupun inovasi tugas,” ujar Ketua Forum Wartawan Hukum Sumut, Aris Rinaldi Nasution di akhir diskusi. (MC/DAF)

Share:
Komentar

Berita Terkini