Ternyata,,Desa Berpemukiman Fiktif Dapat Dana Desa Di Deliserdang

Media Apakabar.com
Senin, 11 November 2019 - 10:25
kali dibaca
plang pembagunan rumah,(waspada Edward Limbong)
Mediaapakabar.com-Indikasi adanya ‘Desa Fiktif’  ternyata juga mengarah di Desa Simempar di Kecamatan Gunung Meriah, Kabupaten Deliserdang. Sebab, desa tersebut tidak didiami oleh penduduknya atau pemukiman maupun rumah beberapa tahun fiktif karena saat ini baru masuk tahap pembangunan rumah.

Sebelumnya, beberapa hari terakhir ramai dikabarkan soal keberadaan desa fiktif seperti di Konawe, Sulawesi Tengah yang mendapatkan bantuan dana desa dari pemerintah pusat.
Informasi yang dihimpun Waspada, sejak Jumat (8/11) hingga Minggu (10/11).

Perihal pemukiman fiktif ini, ketika Waspada Jumat (8/11), turun ke lokasi menemukan fakta bahwa desa tersebut tidak didiami oleh penduduknya tapi tetap menerima dana desa sejak tahun 2015 hingga 2019 ini.

Ironisnya, setelah ditelusuri lebih jauh terkesan Pemerintah Desa maupun Kecamatan baru mau membangun berupa bentuk pemukiman program rumah tidak layak huni yang bersumber dana dari dana desa yang pembangunan itupun tampak dari plang proyek.

Untuk jumlah rumah terhitung di desa tersebut masih tahap pembangunan sebanyak 9 unit dan 1 kamar mandi umum. Dari 9 unit rumah tersebut 7 unit merupakan program pembangunan rumah tidak layak huni sebesar Rp. 140.000. 000, sumber dana dari dana desa tahun 2019. Tetapi dari jumlah total rumah yang ada tampak belum pernah di tinggali penduduk.

Tidak itu saja sarana fasilitas umum juga tidak ada seperti kantor desanya karena hanya menumpang di desa tetangga yakni Desa Gunung Paribuan.

Namun demikian, di desa tersebut sebenarnya ada kepala desa dan warga. KTP juga diterbitkan sebagai bukti administrasi kependudukan desa tersebut.

Salah seorang warga yang mengaku penduduk Desa Simempar Ngumban Br Tarigan mengakui, bahwa warga desa itu sudah sejak lama pindah untuk bermukim di Desa Gunung  Paribuan, iapun tidak mengetahui secara pasti mengapa warga pindah. " Sudah lama (pindah) gak taulah aku opung-opunglah (kakek) itu," katanya.

Iapun memastikan, bahwa warga Desa Simempar secara keseluruhan telah pindah ke Desa Gunung Paribuan, walaupun secara administrasi memiliki KTP Desa Simempar, namun pemukiman warga baru dibangun. "Belum siap ini (rumah) baru dibangun belum ditempati. Nanti siap (dibangun) disinilah (tinggal)," ungkapnya.

Warga lain, Josep Tarigan yang menyebutkan, ia lahir sejak tahun 1952 di desa tersebut namun sejak 1968-1969 warga eksodus  meninggallkan Desa Simempar dan menetap ke Desa Pangaribuan, lantaran ada perang kelompok.

"Numpang saya selama ini, karena pada waktu itu ada pemberontakan gerombolan sejarahnya. Jadi karena kampung ini berdekatan dengan kampung Gunung Paribuan, orang Gunung Paribuan meminta supaya kumpul supaya bisa ada kesatuan menghadapi gerombolan waktu dulu itu," ujarnya.

Josep menjelaskan, warga menumpang di Desa Gunung Paribuan sejak tahun 1968 hingga saat ini. Dengan kata lain dirinya sudah lama tidak tinggal di Desa Simempar namun iapun menyebutkan setelah rumah yang dibangun nanti selesai maka dia akan tinggal di Desa Simempar. "Tahun 1968 lah, (menumpang Desa Gunung Paribuan) sampai sekaranglah masih menumpang," jelasnya.

Sementara itu Kepala Desa Simempar Wari Tarigan mengatakan, desa tersebut tidak ingin disebut sebagai desa fiktif dan dia membantah desanya itu fiktif karena ia mengaku bahwa desanya tersebut sudah pernah di kunjungi oleh Satgas Kementerian Desa.

"Begini, kami kan sudah di kunjungi tahun 2018 oleh Satgas Kementerian Desa, orang itu sudah buat peryataan bahwa desa kami bukan desa fiktif," katanya.

Dijelaskan Wari, jumlah Kartu Keluarga (KK) penduduk di desa tersebut sebanyak 38 terdiri dari laki-laki 65 orang dan perempuan 58 orang. Ketika ditanya pada saat ini sedang ada pembangunan dan selama ini warga tinggal dimana, Wari menyampaikan, bahwa dulunya warga sudah tinggal di Desa Simempar namun belum secara keseluruhan,dilansir waspada.id.

"Karena kendalanya begini, untuk memindai masyarakat itukan susah, sementara disisi pengasilannya minim semua. Jadi ketika kunjungan Satgas dulu kami sudah meminta bantuan rumah disini, jadi tahun ini kami sudah di kasih 7 dari dana desa," katanya.
Wari juga, sebenarnya mengakui bahwa warganya tidak tinggal di Desa Simempar melainkan di Desa Gunung Paribuan. " Ya sebagian begitu (tidak tinggal di Desa Simempar)," akunya.

Dari sejarah Desa Simempar, sebut Wari ada sejak tahun 1868, namun katanya untuk Kantor Desa berdomisili di desa sebelah yakni Desa Gunung Paribuan. "Alasannya karena ini sebelum ada dana desa belum bisa dibangun. Sejak ada dana desa baru bisa kami bangun desa kami kembali," sebutnya.

Adanya dua terkesan kejanggalan di Desa Simempar yang pertama  dengan jumlah KK sebanyak 38 terdiri laki-laki 65 orang dan perempuan 58 orang namun rumah yang ada dan itupun masih masuk tahap pembangunan sebanyak 9 unit.

Kemudian kedua, rumah yang dibangun itupun sebanyak 7 unit program dana desa. Sementara dana desa Wari mengakuinya dikucurkan dari pemerintah sejak tahun 2015 dan terakhir pada tahun 2019 sebesar Rp 750 juta.

"Anggran dana desa kita sudah buat BUMDES wisata pohon damai. Anggran didapat sejak tahun 2015 sampai sekarang kalau untuk tahun ini sebesar 750 juta lebih," ungkapnya. "Sasaran lainnya dari dana desa, untuk jalan rabat beton urbanisasi pengembalian masyarakat biar masyarakat kami bisa kembali lagi disini," tambahnya.

Sedangkan ketika ditanya kepada Camat Gunung Meriah Erson Girsang, apakah tidak sebaiknya Desa Simempar untuk bergabung saja dengan Desa Gunung Paribuan karena dilihat dari jumlah penduduk yang memiliki KTP Desa Simempar tidak terlalu banyak ditambah lagi baik pendukungnya maupun kantor desanya berada di lokasi Desa Gunung Paribuan, iapun menyebutkan sudah pernah menyarankan akan hal itu.

"Saran pengabungan ini sudah pernah juga kita wacanakan, tetapi secara historis sejarahnya Simempar inilah desa tertua di wilayah ini. Jadi kalau di gabung tidak mungkin," katanya.

Selanjutnya Erson menjelaskan, masalah masyarakat yang tinggal di desa tetangga. Katanya, itu, karena secara sosiologis pada waktu ada perang kelompok. "Itu ada kejadian-kejadian sosial, sehingga menimbulkan ketakutan kepada masyarakat disini. Sehingga, mereka mencari pengamanan dari desa tetangga, sementara perladangan tetap disini hanya rumah saja, (tidak ada)," tandasnya.

Sumber Waspada.id

editor:armen
Share:
Komentar

Berita Terkini