Ekonomi Makin Sulit, Harga Kebutuhan Pokok Terus Melambung

Media Apakabar.com
Kamis, 30 Agustus 2018 - 10:58
kali dibaca
foto: Int
Mediaapakabar.com-Kesulitan perekonomian di masyarakat kini semakin berdampak pada tingginya harga kebutuhan pokok. Buktinya, untuk harga ayam potong atau broiler di sejumlah pasar tradisional Kota Medan mengalami kenaikan. Naiknya harga ayam ini disebabkan lantaran pasokan kurang.  

Seperti di pasar MMTC ayam potong dijual dengan harga Rp 43-38 ribu per kilogram. Salah seorang pedagang, Roma mengatakan, kenaikan harga ini terjadi sejak beberapa hari sebelum Lebaran Idul Fitri lalu. 

" Belum pernah turun. Naik terus sampai sekarang. Susahlah jualnya," katanya kemarin.    

Ia mengatakan, sebelum lebaran, ayam potong masih dijualnya dengan harga Rp 25 ribu per kg. Setelah lebaran, harga terus naik hingga pekan lalu menjadi Rp 35-40 ribu per kg. Sepekan terakhir, untuk ayam ras dijual seharga Rp 38 ribu per kg. 

Ketersediaan barang di sejumlah pemasok dituding menjadi penyebab naiknya harga. 

" Kalau kata pemasok, mulai sedikit barang. Di pasar manapun sedikit. Jadi mereka bikin harga tinggi, ya harganya naik," jelasnya. 

Kenaikan harga ayam ini dikeluhkan oleh para pembeli. Ana salah satu pedagang warung makan mengatakan, kenaikan tersebut membuat untung semakin tipis. Meski tinggi, dia pun harus tetap membeli ayam untuk dijualnya sebagai lauk.  

" Keqmanalah Kan gak mungkin gak dibeli. kita jualan nasi. ayam itu harus ada," katanya. .

Berkaitan dengan itu, pengamat ekonomi dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas menyebut, komponen impor dalam produksi telur dan daging ayam di dalam negeri mencapai sekitar 60 persen. Impor itu berasal dari mulai indukan ayam atau yang biasa disebut grandparents stock. Bahan baku pakan ayam, hingga vitamin yang diberikan untuk unggas.Dari sisi pakan, 

Dwi menyebut perusahaan pakan unggas masih sangat bergantung pada bahan baku berupa jagung impor. Sebab, harga jagung impor jauh lebih murah dibanding jagung lokal. 

“ Komponen impornya sangat besar, walaupun dari sisi produksi kita swasembada,” kata Dwi.  

Besarnya komponen impor tersebut membuat komoditas telur dan ayam rentan mengalami gejolak harga. Hal itu terutama saat kurs rupiah sedang mengalami tekanan seperti saat ini.  

Menurut Dwi, Indonesia sebenarnya memiliki kemampuan untuk mengurangi ketergantungan akan bahan baku impor. Untuk indukan ayam ia meyakini peneliti di dalam negeri memiliki kapasitas untuk mengembangkan indukan ayam yang bisa tumbuh secara cepat dan efisien. 

Namun, dibutuhkan dukungan dari pemerintah agar hasil dari pengembangan tersebut dapat diaplikasikan secara luas di dalam negeri  

Cara lain, yakni dengan mendorong perubahan pola konsumsi masyarakat dari ayam negeri ke ayam kampung. “ Pemerintah bisa memberikan subsidi untuk ayam kampung sehingga itu berkembang," sebutnya. (*/dani)

Share:
Komentar

Berita Terkini