Mediaapakabar.com-Upaya keras pemerintahan Donald Trump untuk menggunakan sanksi guna mencegah banyak negara dari membeli perangkat keras pertahanan buatan Rusia merupakan “pedang bermata dua” yang dapat melukai sendiri Amerika.
Ancaman ini bisa mendorong pelanggan menjauh dari Amerika dan
masuk ke dalam pelukan produsen senjata Rusia, China atau Eropa
Hal itu diungkapkan
analis militer Stratfor, Omar Lamrani dalam sebuah artikel baru-baru ini.
Stratfor ang berbasis di Austin, Texas merupakan sebuah think tank yang sering
digambarkan sebagai ‘CIA bayangan’.
Lamrani mengatakan bahwa menggunakan sanksi untuk meningkatkan
ekspor senjata Amerika adalah bagian dari “pendekatan zero-sum” Washington
untuk bersaing dengan saingan kekuatan, dan pendekatan sentris kompleks
industri-militer untuk kebijakan luar negeri Amerika. Cara ini telah membantu
meningkatkan penjualan senjata Amerika dari US$ 33,6 miliar pada 2016 menjadi
US$ 55,4 miliar pada 2019.
Namun, ketika Rusia, pengekspor senjata terbesar kedua di dunia,
terus membuat kesepakatan multi-miliar dolar sendiri dengan semua negara yang
bermusuhan dengan Amerika dan negara-negara netral hingga sekutu Amerika
seperti Turki.
“Meski Amerika Serikat tidak mengembangkan CAATSA untuk tujuan
yang jelas meningkatkan ekspor senjata Amerika, jelas telah muncul aturan
itu sebagai alat kunci untuk pemerintah Trump dalam hal itu,” kata Lamrani.
Ditandatangani menjadi
undang-undang pada tahun 2017, Countering America’s Adversaries Through
Sanctions Act (CAATSA) pertama kali diterapkan pada bulan September 2018
melawan China atas keputusannya untuk membeli jet tempur Su-35 dan S-400 dari
Rusia.
Sejak itu, Washington beralih menggunakan CAATSA untuk menekan
di India, Indonesia, Mesir dan Turki.“Mengingat besarnya ekonomi Amerika
Serikat ancaman sanksi bukanlah ancaman kosong,” catat analis.
“Memang, Rusia telah lama menyebut CAATSA sebagai alat
persaingan tidak adil.” Namun pada saat yang sama, Lamrani percaya bahwa dalam
jangka panjang, ancaman Amerika dapat berakhir menjadi bumerang, terutama jika
aturan itu dianggap sebagai ‘menghancurkan kepercayaan’ dan campur tangan
politik dalam urusan negara lain.
Lebih jauh, ia mencatat,“Untuk
banyak negara tidak ada alternatif kompetitif untuk peralatan yang mereka
beli dari Rusia, karena pemasok lain (terutama Amerika) tidak dapat menawarkan
produk yang sama pada titik harga yang sama atau dengan tingkat transfer
teknologi yang sama,” katanya.
“India, yang bidang militernya secara harfiah memilik ribuan
tank, pesawat terbang, dan kapal perang Rusia, merupakan contohnya,” katanya.
Jadi Bumerang
Akhirnya, Lamrani berpendapat, bahkan jika sanksi Amerika
berhasil mencegah negara dari membeli Rusia, CAATSA tidak memberikan jaminan
bahwa mereka tidak akan dapat memilih Amerika dan beralih ke China Eropa, atau
bahkan produsen dalam negeri.
Minggu ini, Komite Hubungan Luar Negeri Senat Amerika secara
resmi menyetujui sanksi Turki di bawah CAATSA atas kesepakatan S-400 senilai
US$ 2,5 miliar dengan Rusia, setelah sebelumnya mengusir negara itu keluar dari
program pesawat tempur F-35.
Namun, alih-alih melepaskan sistem Rusia yang baru diakuisisi,
Ankara balik mengancam akan mengusir Amerika dari Incirlik, pangkalan
strategis utama yang diandalkan militer Amerika untuk pengiriman peralatan dan
personel masuk atau pergi dari Tengah Timur.
“Alih-alih tunduk pada permintaan Amerika, Turki sejauh ini
telah mengancam untuk bergerak lebih dekat ke Rusia, mengeksplorasi pembelian
jet tempur Su-35 Rusia sebagai alternatif dari pesawat tempur F-35 yang
transfernya diblokir oleh Amerika Serikat,” kata Lamrani.
“Pada akhirnya, pertengkaran ini menunjukkan bagaimana masalah
penjualan senjata, bersama pertengkaran Amerika lainnya dengan Turki, dapat
memiliki dampak luar biasa pada hubungan antara tiga kekuatan kritis dalam waktu
yang sangat singkat,” tambahnya.
Dalam akhir analisanya, dia menyarankan bahwa meski “mengadopsi
pendekatan zero-sum dapat membantu Amerika Serikat mempertahankan negara,
terutama yang sangat bergantung padanya, dari membeli senjata dari Rusia,
kasus Turki menyoroti bahwa bermain keras juga bisa mendorong
negara-negara tersebut lebih jauh ke dalam pelukan Moskow. “(Jejaktapak)