Mediaapakabar.com-Saat ini dunia sedang digemparkan oleh penyebaran Virus Corona (covid19). Lebih dari 114 Negara di seluruh dunia termasuk di Indonesia terinfeksi oleh covid19. Pemerintah Indonesia berupaya untuk memutus mata rantai penyebaran virus dengan memberlakukan social distancing (pembatasan sosial), bahkan pemerintah sudah memberlakukan PSBB (pembatasan sosial berskala besar) sesuai dengan UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Kebijakan ini mengharuskan masyarakat untuk membatasi kegiatan yang melibatkan banyak orang dan memaksimalkan aktivitas dari rumah.
Medan
menjadi salah satu provinsi yang juga memberlakukan siaga covid19. Sekolah
telah memberlakukan belajar dari rumah, pekerja juga telah dibatasi untuk
melakukan pekerjaan dari rumah. Hal ini berimbas pada frekuensi pertemuan
antara anggota keluarga yang menjadi lebih intens. Namun hal ini ternyata juga
membawa dampak negatif bagi masyarakat terutama anak.
Hartini
yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga menyatakan bahwa suaminya tidak lagi
bekerja sejak diberlakukan pembatasan sosial, hal ini menyebabkan dia dan
suaminya kerap kali bertengkar dan hal ini berpengaruh terhadap kesehatan
mental anak mereka.
Pertengkaran
antara suami dan istri yang awalnya dipicu oleh masalah ekonomi dapat membesar
dan berujung pada KDRT (kekerasan dalam rumah tangga). Jika tidak segera
diatasi, maka anak sangat rentan menjadi target kekerasan yang pelakunya adalah
orang tua mereka sendiri.
Tidak
hanya itu, Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) yang selama ini selalu
fokus dalam upaya pemenuhan hak anak masih menerima pengaduan adanya kasus
kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan yang dilakukan oleh orang
terdekatnya disaat situasi pendemi Covid19.
Tidak
hanya di Medan, layanan pengaduan PKPA yang berkantor cabang di Nias juga masih
memperoleh pengaduan terkait kasus kekerasan seksual terhadap anak di tengah
covid19. Hal ini menunjukkan bahwa dalam situasi pembatasan sosial, anak-anak
tidak lantas terbebas dari ancaman kekerasan yang pelakunya bisa saja berasal
dari orang terdekat mereka.
Dizza
Siti Soraya selaku staf Pusat Layanan Informasi dan Pengaduan Anak (PUSPA) PKPA
menyatakan bahwa penanganan kasus ditengan pandemi covid19 juga mengalami perubahan.
Meskipun PKPA masih tetap memberikan layanan, namun ruang gerak dalam
memberikan pelayanan dan pendampingan menjadi terbatas.
Saat ini
PKPA hanya dapat melakukan layanan pengaduan melalui telpon dan media online.
Staff PKPA hanya diperbolehkan untuk mendampingi kasus secara langsung jika
kasus tersebut sudah mendesak dan harus segera diselesaikan, tentu saja saat
bertugas staff tersebut harus mengikuti protokol keselamatan yang berlaku
(menggunakn masker, membawa hand sanitizer dan memberi jarak saat pertemuan
berlangsung).
Meskipun anak tetap menjadi individu yang rentan memperoleh
kekerasan dalam situasi covid19, Namun
sayangnya pihak-pihak terkait seperti Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak
tingkat Kabupaten/Kota belum mempunyai kebijakan layanan selama WFH (working from home), seperti pelayanan terhadap masyarakat atas laporan kasus-kasus
perempuan dan anak yang melaporkan kasusnya serta pendampingan yang harusnya
diberikan. Tanpa kebijakan layanan yang jelas, maka
garis kordinasi saat PKPA memperoleh pengaduan dari korban juga menjadi
terhambat dan pelayanan yang diberikan akan kurang maksimal.
Hal senada juga disampaikan oleh Ranap Sitanggang selaku Pendamping
Hukum PKPA. Beliau menyatakan bahwa situasi covid19 berimbas pada Anak yang
Berkonflik dengan Hukum (AKH).
“Anak yang Berkonflik dengan Hukum (AKH) dalam situasi Covid-19 sangat
tidak kondusif, dikarenakan anak yang ditahan ditempatkan sama dengan tahanan
orang dewasa. Hal ini dikarenakan LPKA Kelas I Medan sudah tidak menerima tahanan
lagi, maka hal ini tidak sesuai dengan mandat Undang-Undang No 11 tahun 2012
tentang sistem peradilan pidana anak.” Paparnya. (PKPA)