Mewahnya Rumah SBY Dibeli Negara Bernilai Rp 310 Miliar di Kawasan Elit Kuningan

Admin
Rabu, 04 Juli 2018 - 11:47
kali dibaca
Tampilan rumah depan mantan Presiden RI SBY. Kompas.com
Mediaapakabar.com - Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono, memiliki rumah baru yang diberikan oleh pemerintah atas nama negara.


Letaknya di Jalan Mega Kuningan Timur VII, Jakarta Selatan. Tepat di belakang Kedutaan Besar Qatar.   
Tanah tersebut, kata dia, terbagi menjadi dua kavling. Rumah yang berada di atas lahan seluas 4.000 meter persegi tersebut pasalnya ditaksir memiliki harga hingga ratusan miliar rupiah seperti yang dilansir Kompas.com
"Luas tanahnya 4.000 meter persegi? Nggak salah itu?"
"Ya kalau dihitung dengan harga tanah sekarang di sana, paling murah per meter perseginya Rp 75 juta."
"Dikali 4.000 ya sekitar Rp 300 miliar berarti," ujar Prinsipal Li Reality, Ali Hanafia.
Sementara itu, dari segi harga bangunannya, rumah seluas 700 meter persegi tersebut memiliki nilai tak kurang dari Rp 10 miliar. 
"Kalau luas rumahnya memang 700 meter persegi luar biasa ini, karena untuk rumah di kawasan tersebut, per meternya dihargai Rp 15 juta, jadi sekitar Rp 10,5 miliar," jelas Ali Hanifah. 
Rumah tersebut terdiri dari dua lantai. Arsitektur bangunannya bergaya modern kontemporer.
Jika dilihat, desain bagian luarnya praktis dan fungsional namun terkesan mewah. Temboknya dicat dengan perpaduan warna putih dan abu-abu.
Sebagian bangunan dilapisi dengan marmer, sebagiannya lagi menggunakan kayu. Pintu dan jendelanya berukuran besar.
Di bagian tengah halaman depan rumah, tertancap satu tiang bendera dan di bagian kiri gerbang terdapat satu pos penjagaan.
Dua hal yang menjadi ciri pembeda dengan beberapa rumah yang ada di sekitarnya. Jika dibandingkan, ukuran bangunannya pun lebih besar.
Rumah baru SBY ini adalah pemberian negara kepada para mantan presiden RI pada 26 Oktober 2016 lalu.
Asdep Humas Kementrian Sekretariat Negara, Mashrokan mengatakan, pemberian rumah tersebut merupakan perwujudan undang-undang dan peraturan Presiden. 
Yakni Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1978 tentang Hak Keuangan/ Adsministratif Presiden dan Wakil Presiden. 
Selain itu, ada juga Peraturan Presiden nomor 52 Tahun 2014 tentang Pengadaan dan Standar Rumah bagi Mantan Presiden dan atau Mantan Wakil Presiden. 
"Jadi, ada Undang-undang dan Perpres yang menjadi dasar pemberian rumah baru kepada mantan Presiden itu," ujar Mashrokan.
Idea.grid.id
Halaman depan rumah

Memilukan di Akhir Hayat Soekarno
Kamis (21/6/2019) merupakan 48 tahun kepergian Soekarno. Soekarno lahir pada tanggal 6 Juni 1901, dirinya juga wafat pada bulan yang sama di tanggal 21 tahun 1970.
48 tahun berlalu, kepergian Presiden Soekarno masih menyisakan cerita memprihatinkan di baliknya, seperti halnya kisah Soekarno di akhir jabatannya.
Situasi politik nasional pasca-terbitnya Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) 1966, mengalami banyak perubahan.
Khususnya untuk Presiden Soekarno yang kekuasaannya berkurang secara perlahan dan berpindah ke tangan Presiden Soeharto.
Tidak hanya kekuasaan yang berkurang dan menghilang, kondisi kehidupan Soekarno juga berubah drastis.
Kisah kehidupan Soekarno pasca-Supersemar dituturkan oleh salah satu mantan ajudannya, Sidarto Danusubroto.
Sidarto adalah anggota Kepolisian yang menjadi ajudan terakhir Bung Karno.
Saat dijumpai Kompas.com di kediamannya, Jakarta Selatan, Minggu (6/3/2016), Sidarto mengungkapkan bahwa masa peralihan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto berjalan panjang.
Dalam buku 'Memoar Sidarto Danusubroto Ajudan Bung Karno' yang ditulis Asvi Warman Adam, Sidarto mengungkapkan bahwa pasca-Supersemar, Soekarno semakin tidak berdaya.
Sang Proklamator pun tidak mendapat kejelasan mengenai pembayaran gaji serta uang pensiun seorang Presiden.
Sampai pada di satu titik, Soekarno kehabisan uang untuk pegangan atau sekadar untuk menutup keperluan hidup selama menjadi tahanan kota di Wisma Yaso.
Sidarto masih ingat ketika Soekarno memintanya mencarikan uang.
Soekarno lalu meminta Sidarto menemui mantan pejabat rumah tangga Istana Merdeka, Tukimin.
Dari Tukimin, Sidarto berhasil memeroleh uang tunai 10.000 dollar AS untuk diberikan kepada Soekarno.
Selanjutnya, Sidarto mencari cara agar uang tersebut lolos dari pemeriksaan penjaga dan sampai ke tangan Soekarno.
Ia lalu memasukkan uang itu ke dalam kaleng biskuit dan meminta Megawati Soekarnoputri menyerahkannya kepada Soekarno.
Selama menjadi ajudan Soekarno, Sidarto sempat menyaksikan beberapa upacara kenegaraan, termasuk proses penyerahan kekuasaan eksekutif dari Soekarno kepada Soeharto pada 20 Februari 1967.
Sejak saat itu, secara de facto dan de jure, kekuasaan berpindah dari Soekarno ke Soeharto.
Selain tidak mendapatkan uang dari negara, semua fasilitas kenegaraan juga dibatasi ketat untuk Soekarno.
Termasuk fasilitas dokter kepresidenan untuk memeriksa kesehatannya.
Pada awal 1968, Soekarno dikenai tahanan rumah dan dibatasi aktivitasnya, termasuk untuk bertemu keluarga.
Sidarto ditarik dari posisinya sebagai ajudan Soekarno oleh Polri pada 23 Maret 1968.
Kondisi kesehatan Soekarno yang semakin menurun, dianggap lebih memerlukan dokter ketimbang ajudan.
Hingga akhirnya, Soekarno menderita penyakit gagal ginjal hingga menghembuskan napas terakhirnya.
Soekarno menangis. (Istimewa)
Soekarno menangis. (Istimewa) 
Dikutip dari Wikipedia, Soekarno telah dinyatakan mengidap gangguan ginjal dan pernah menjalani perawatan di Wina, Austria, pada tahun 1961 dan 1964.
Namun, kesehatan Soekarno sudah mulai menurun sejak bulan Agustus 1965.
Prof Dr K Fellinger dari Fakultas Kedokteran Universitas Wina, menyarankan agar ginjal kiri Soekarno diangkat, tetapi ia menolaknya dan lebih memilih pengobatan tradisional.
Soekarno bertahan selama 5 tahun, hingga akhirnya menghembuskan napas terakhirnya.
Tepat pada Minggu (21/6/1970), Soekarno menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Jakarta, dengan status sebagai tahanan politik.
Sebelum dinyatakan wafat, pemeriksaan rutin terhadap Soekarno sempat dilakukan oleh Dokter Mahar Mardjono yang merupakan anggota tim dokter Kepresidenan.
Sosok Istri yang Temani Soekarno di Akhir Hayat
Di akhir hayatnya, Soekarno hanya ditemani oleh satu orang istrinya.
Seperti yang diketahui, Seokarno memiliki banyak istri semasa hidupnya.
Beberapa deretan nama perempuan tercatat dalam sejarah sebagai istri Bung Karno.
Mulai dari Oetari, Inggit Garnasih, Fatmawati, Hartini, Haryati, Kartini Manoppo, Ratna Sari Dewi, Yurike Sanger, dan Heldy Djafar.
Namun, hanya ada satu orang yang setia menemani Soekarno di akhir hayatnya.
Ia adalah Hartini. Soekarno dan Hartini menikah di Istana Cipanas pada 7 Juli 1953.
Beberapa tahun setelah menikah, tepatnya pada 1964, Hartini pindah ke salah satu paviliun di Istana Bogor.
Dikutip dari Grid.ID, Hartini Soekarno kemudian dikenal sebagai salah satu wanita setia yang sempat mengisi hidup Soekarno.
Ia juga tetap mempertahankan status pernikahannya sampai ajal menjemput Soekarno.
Dan ternyata, di pangkuan Hartini lah, Bung Karno menghembuskan napas terakhirnya di RS Gatot Subroto pada 21 Juni 1970.
Share:
Komentar

Berita Terkini