![]() |
Anggota Komisi E DPRD Sumut, Meryl. (foto : dok) |
Mediaapakabar.com - Anggota Komisi E DPRD Sumut Meryl Rouli Saragih merespon kebijakan waktu sekolah lima hari yang disebut sebagai upaya mencegah aksi tawuran, Geng motor dan narkoba oleh Kadis Pendidikan Sumut Alexander Sinulingga.
" Kami mendorong adanya forum dengar pendapat dan uji publik sebelum kebijakan itu di-implementasikan, agar masukan menjadi pertimbangan utama. Prinsipnya, kami mendukung setiap kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan," ujar anggota dewan itu pada wartawan di Gedung DPRD Sumut, Rabu (04/06/2025).
Politisi PDI Perjuangan tersebut menyampaikan bahwa Komisi E dengan Dinas Pendidikan Sumut belum pernah membahas terkait teknis pelaksanaan kebijakan waktu sekolah lima hari dalam sepekan untuk para siswa SMA, SMK dan SLB.
" Kami berharap sebelum kebijakan ini diterapkan, Disdik Sumut seharusnya melibatkan semua pihak terkait, terutama para guru, orangtua dan tentu saja pihak legislatif sebagai mitra pengawasan," jelasnya.
Dia yang juga sebagai Wakil Sekretaris DPD PDI Perjuangan Sumut itu menegaskan pula aturan secara normatif bagi pihaknya memang tidak wajib memberikan persetujuan atas keputusan teknis gubernur seperti pengaturan hari sekolah. Tapi, pelibatan DPRD khususnya Komisi E yang membidangi pendidikan, sangat penting secara prinsip akuntabilitas, pengawasan dan representasi publik.
" Secara hukum maupun regulasi keputusan gubernur (bukan Perda) adalah kewenangan eksekutif. Jadi, gubernur atau Dinas Pendidikan dapat menerbitkan keputusan semacam ini tanpa persetujuan DPRD, selama tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi (Permendikbud, PP, UU Sisdiknas)," terangnya.
Dia mengatakan, jika kebijakan itu berdampak pada anggaran besar, atau memerlukan perubahan alokasi anggaran. Misalnya tambahan honor, fasilitas sekolah, maka harus dibahas dalam rapat anggaran bersama DPRD.
" Secara politik dan etika pemerintahan, DPRD adalah representasi rakyat. Perlibatan dalam bentuk konsultasi, rapat kerja atau uji publik bukan hanya etis tapi juga penting agar kebijakan berjalan dengan legitimasi dan menghindari resistensi,” sebutnya.
Akan tetapi menurutnya, kebijakan dimaksud seharusnya tidak hanya baik secara teori, namun harus realistis, inklusif dan kontekstual dengan kondisi daerah, sarana prasarana, serta kesiapan sekolah di berbagai kabupaten/kota.
" Kami juga menilai perlu ada kajian mendalam mengenai dampak psikologis, sosial dan kultural terhadap peserta didik, khususnya di daerah yang masih menjalankan aktivitas keagamaan/adat di luar sekolah pada hari Sabtu,” ungkapnya.
Komisi E sebagai mitra kerja Dinas Pendidikan Sumut berhak meminta klarifikasi, evaluasi dan memberi masukan terhadap kebijakan pendidikan, apalagi yang berdampak luas.
Dikatakan, secara praktis jika kebijakan 5 hari sekolah tidak dibahas atau disosialisasikan terlebih dahulu ke DPRD, akan menimbulkan kesan tertutup dan kurang partisipatif.
" Di lapangan, kalau ada masalah atau protes dari masyarakat, tentunya DPRD yang akan ditanya dan ditekan. Karena itu wajar bila Komisi E meminta dilibatkan sejak awal," imbuhnya.
Meski begitu, dia menyimpulkan bahwa keputusan Gubernur tidak wajib mendapat persetujuan DPRD. Tetapi secara etika pemerintahan dan prinsip partisipasi publik, DPRD, khususnya Komisi E, sangat perlu dilibatkan agar kebijakan berjalan efektif dan diterima masyarakat. (MC/DAN)