Ket Foto: Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Banyumas. |
Mediaapakabar.com - Indonesia masih punya PR soal tata kelola sampah. Daerah yang baru-baru ini menjadi perbincangan publik adalah Yogyakarta dan Bandung.
Masalah yang dialami kedua kota ini sama: penumpukan sampah di tengah pemukiman karena Tempat Pembuangan Akhir (TPA) ditutup.
Lukas Singarimbun (2023) menyarankan agar pemerintah daerah bisa menerapkan ekonomi sirkular dari timbunan sampah yang selama ini menjadi masalah.
Salah satu caranya adalah menjalin kerja sama internasional dengan Kota Kopenhagen Denmark. Bagi saya, cara itu tidak salah tetapi tahukah Anda bahwa kita punya pemerintah daerah yang bisa menjadi teladan dalam tata kelola sampah? Kabupaten Banyumas sudah berhasil mengolah sampah sekitar 80 persen lebih. Bandingkan dengan Kota Kopenhagen yang baru memiliki target pada 2024 akan mampu mengolah 70% sampahnya.
Pemerintah Kabupaten Banyumas pernah mengalami persoalan yang kini dihadapi Yogyakarta dan Bandung. Penumpukan sampah terjadi karena penutupan TPA. Bedanya, di Banyumas penutupan sarana pembuangan akhir itu bukan soal kapasitas, tetapi diprotes warga.
Mereka melakukan protes hingga memblokade jalur dump truck yang membawa ratusan ton sampah menuju TPA Kaliori, Kalibagor. Protes warga akhirnya meluas karena terjadi penumpukan di seluruh TPS.
Apa yang dilakukan Achmad Husein, bupati yang menjabat saat itu? Ia melakukan pendekatan kepada warga yang protes. Masyarakat terkait kemudian memintanya untuk mengurangi jumlah sampah yang dikirim ke TPA. Maka, saat itulah Pemda Banyumas menginisiasi program "Sumpah Beruang" (Sulap Sampah Berubah Uang).
Jika langkah sang bupati saat itu adalah mendirikan TPA alternatif tanpa memikirkan pengolahan sampahnya, kabupaten ini barangkali tidak akan menjadi percontohan dunia soal pengolahan sampah. Bupati Banyumas diundang dalam Konferensi Perubahan Iklim COP pada 14 November 2022 di Mesir. Ia diminta untuk berbagi cerita soal pengelolaan sampah di hadapan para delegasi yang berasal dari berbagai negara.
Jika saat itu Banyumas mengganti dari satu TPA ke TPA yang lain, kejadiannya mungkin bisa seperti kasus yang terjadi di Bandung hari ini. TPA Sarimukti yang menjadi pengganti TPA Leuwigajah karena terjadi longsor di tempat tersebut pada 2005, hanya mampu bertahan 17 tahun. Kini kondisinya sudah tidak layak dijadikan TPA. Penumpukan sampah di tengah pemukiman warga tak terhindarkan.
Di sini kita bisa melihat bahwa tata kelola sampah yang berkelanjutan tidak bisa dengan membuang sampah begitu saja, tetapi diperlukan upaya pengolahan. Pendekatan kumpul, angkut, buang sudah perlu ditinggalkan. Hal ini sebetulnya sudah diamanatkan dalam UU No. 18 Tahun 2008. Berkaca kembali pada Pemkab Banyumas, untuk mengurangi jumlah sampah yang dibuang ke TPA, bupatinya berusaha mencari alat pengolahan sampah yang tepat.
Tempat Pembuangan Sementara (TPS) yang mulanya hanya sebagai tempat pengumpulan sampah sementara, kini difungsikan sebagai tempat pengolahan sampah dan disediakan hanggar Pusat Daur Ulang (PDU). Hasilnya, sampah-sampah kian menyusut dan kini sudah tercipta ekonomi sirkular di tengah masyarakat Banyumas. Lewat Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) sampah mula-mula dipilah, lalu diolah menjadi paving, atap, bata, biji plastik, pakan maggot, dan pupuk kompos.
Dari produksi maggot sudah mencapai rata-rata 3,5 ton per hari yang setara dengan Rp17,5 juta. Dari pengolahan sampah ini juga dihasilkan bahan bakar alternatif pengganti batu bara yakni Refuse Derived Fuel (RDF) dengan rata-rata produksinya 24 ton per hari atau senilai Rp 9 juta rupiah per harinya.
Uraian di atas adalah upaya Pemkab Banyumas dalam menangani sampah di sektor hilir. Bagaimana penanganan di sektor hulunya? Kabupaten yang berada di Jawa Tengah itu melibatkan partisipasi warga dengan membuat aplikasi Sampah Online Banyumas (Salinmas) dan Ojeke Inyong (Jeknyong). Masyarakat juga diberi kesempatan untuk menjual sampah plastiknya ke KSM dengan cara mengguntingi sampah-sampah plastik itu hingga berukuran sekitar 5 cm.
Dalam hal infrastruktur, Pemkab Banyumas menyediakan di antaranya adalah Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST), mesin pemilah sampah organik dan anorganik, aplikasi Salinmas dan Jeknyong, Tempat Pembuangan Akhir Berbasis Lingkungan dan Edukasi (TPA BLE), Pusat Daur Ulang (PDU), mesin pirolisis untuk pengelolaan sampah menjadi RDF, dan mesin pembuat paving.
Keteladanan dari Bupati Banyumas ini memang mulanya dalam hal langkah yang sat-set. Keterbatasan anggaran tidak menjadi alasan. Ia memang tidak bisa membeli mesin pemusnah sampah, incenerator yang seharga Rp 800 miliar. Tetapi kemudian bisa mencari teknologi yang sesuai bujet. Infrastruktur yang dibutuhkan tidak perlu mahal. Sarana TPST di Banyumas yang dapat mengelola 980 KK, pasar, dan rumah sakit dibangun dengan anggaran Rp 3,3 miliar. Bandingkan dengan anggaran 2023 Kota Bandung untuk pengelolaan sampah yang mencapai Rp 123 miliar, tetapi hingga sekarang kota ini masih darurat sampah.
Jika menyimak berbagai langkah cepat Pemkab Banyumas yang hanya butuh tiga tahun, orang Jawa Barat khususnya warga Bandung Raya mesti geregetan pada kebijakan gubernurnya. Sebab, tempat Pengolahan dan Pemrosesan Akhir Sampah (TPPAS) Legok Nangka yang bakal jadi solusi untuk pengolahan sampah hingga 2000 ton per hari hingga kini belum bisa beroperasi.
Pada 2018 Pemprov Jabar berencana akan mengoperasikan TPPAS ini pada 2022. Saat tahun sudah berganti, pada 2021 Ridwan Kamil menyebut tempat ini dicanangkan bisa beroperasi pada 2023 untuk menggantikan TPA Sarimukti yang bakal ditutup pada tahun ini. Kalender 2023 sudah mulai habis, TPPAS Legok Nangka ternyata masih belum siap beroperasi dan dicanangkan bakal berjalan pada 2026.
Bila berkaca pada Kabupaten Banyumas, dalam pengelolaan sampah ini diperlukan partisipasi warga yang aktif. Kemudian hal itu perlu disambut oleh keberanian dan kecepatan kerja pemimpin daerah. Infrastruktur yang perlu dibangun tidak perlu besar dan berpusat di satu titik sehingga membuat dana anggaran membengkak. Dengan upaya yang serius dan partisipatif, ratusan bahkan jutaan ton sampah tidak akan lagi jadi masalah tetapi akan menjadi berkah sebagaimana yang berhasil diamalkan oleh warga dan pemkab Banyumas. (DTC/MC)