Kejati Sumut Kembali Hentikan Penuntutan 4 Perkara Dengan Cara Humanis

REDAKSI
Kamis, 12 Oktober 2023 - 10:35
kali dibaca

Mediaapakabar.com
Kejati Sumut kembali menghentikan penuntutan 4 perkara dengan pendekatan humanis berdasarkan Perja Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Restorative Justice atau Keadilan Restoratif. 

Ekspose perkara disampaikan Kajati Sumut Idianto, SH, MH yang diwakili oleh Wakajati Sumut Drs. Joko Purwanto, SH, Aspidum Luhur Istighfar, SH, M.Hum, para Kasi pada Aspidum Kejati Sumut, Selasa (10/10/2023). 


Kajati Sumut Idianto melalui Kasi Penkum Kejati Sumut Yos A Tarigan SH, MH, saat dikonfirmasi wartawan menyampaikan bahwa perkara yang diajukan adalah darI Kejaksaan Negeri Medan An. Tsk. Halomoan melanggar Pasal 44 ayat (4) UURI No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, kemudian dari Cabang Kejaksaan Negeri Mandailing Natal di Kotanopan An. Tsk Amiluddin melanggar Pasal 362 KUHPidana. 


Ada juga perkara pencurian kelapa sawit dari Kejari Simalungun dengan tersangka atas nama Rafik Zahari. Perkara dari Cabang Kejaksaan Negeri Deli Serdang di Labuhan Deli atas nama tersangka Ratno Syahputra alias Dedy melanggar Pasal 111 UU No.39 Tahun 2014 tentang Perkebunan Jo Pasal 55 KUHPidana yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan menadah hasil usaha perkebunan yang diperoleh dari hasil penjahrahan atau pencurian, Diancam dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau denda paling banyak Rp7 miliar.


Pasal 107 Huruf d UU No.39 Tahun 2014 tentang Perkebunan Jo Pasal 55 KUHPidana

yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan memanen/memungut hasil perkebunan secara tidak sah Diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp4 miliar, melanggar Pasal 111 UU No.39 Tahun 2014 tentang Perkebunan Jo Pasal 55 KUHPidana yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan menadah hasil usaha perkebunan yang diperoleh dari hasil penjahrahan atau pencurian, Diancam dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau denda paling banyak Rp.7.000.000.000 (tujuh miliar rupiah) atau Pasal 107 Huruf d UU No.39 Tahun 2014 tentang Perkebunan Jo Pasal 55 KUHPidana yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan memanen/memungut hasil perkebunan secara tidak sah Diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp.4.000.000.000 (empat miliar rupiah).


Perkara dari Cabang Kejaksaan Negeri Deli Serdang di Labuhan Deli atas nama tersangka Ratno Syahputra alias Dedy melanggar Pasal 111 UU No.39 Tahun 2014 tentang Perkebunan Jo Pasal 55 KUHPidana yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan menadah hasil usaha perkebunan yang diperoleh dari hasil penjahrahan atau pencurian, Diancam dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau denda paling banyak Rp.7.000.000.000 (tujuh miliar rupiah).


Pasal 107 Huruf d UU No.39 Tahun 2014 tentang Perkebunan Jo Pasal 55 KUHPidana

yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan memanen/memungut hasil perkebunan secara tidak sah Diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp.4.000.000.000 (empat miliar rupiah)” Penerapan Perja No. 15 tahun 2020 tidak semudah yang dibayangkan. Perlu proses dan tahapan yang jelas agar tidak sampai terjadi kesalahan. 


"Bukan kuantitasnya yang diutamakan, tapi kualitas dari perkara yang berhasil dihentikan berdasarkan sisi kemanusiaan. Misalnya, seorang ayah mencuri berondolan kelapa sawit milik perkebunan swasta atau BUMN, dari hasil jual brondolan ia mendapatkan uang Rp120. 000 demi untuk membeli beras untuk keberlangsungan dapurnya tetap bisa berasap (bisa makan dengan keluarganya), " kata Yos. 


Untuk perkara seperti ini, lanjut Yos JPU perkaranya harus melihat esensi dari kasus yang ditangani, kenapa si ayah tadi mencuri. Berpijak pada alasan kemanusiaan,  jaksa dituntut untuk menggunakan hati nuraninya. 


"Karena, kalau si ayah tadi dimasukkan ke penjara, ada dua alternatif yang menjadi dampaknya. Bertobat atau malah makin jahat di kemudian hari. Jaksa Agung menjalankan program ini sudah banyak menolong orang agar tidak sampai masuk penjara, dimana antara tersangka dan korbannya dimediasi untuk berdamai dan tidak ada dendam di kemudian hari, " tandasnya. 


Untuk memediasi perkara-perkara tindak pidana ringan yang hukumannya dibawah lima tahun, kata Yos A Tarigan Kejati Sumut juga sudah membentuk rumah Restorative Justice, dimana baru-baru ini Jaksa Agung Muda Pidana Umum (JAM Pidum) meresmikan Rumah RJ di Kabupaten Samosir. 


Seperti diutarakan di awal, bahwa penghentian penuntutan dengan pendekatan RJ di wilayah hukum Kejati Sumut sudah mencapai 101 perkara, urutan teratas dengan jumlah RJ tertinggi adalah Kejari Asahan 10 perkara, disusul Kejari Langkat 9 perkara dan Kejari Simalungun 8 perkara. Kemudian disusul Kejari Labuhan Batu dan Cabjari Deli Serdang di Labuhan Deli sebanyak 7 perkara. 


Sementata Kejari dan Cabjari lainnya yang ada dibawah wilayah hukum Kejati Sumut bervariasi dari 1 perkara sampai 6 perkara. 


Proses penghentian penuntutan dengan pendekatan keadilan restoratif dilakukan secara berjenjang dengan syarat utama tersangka belum pernah melakukan tindak pidana dan ancaman hukumannya dibawah lima tahun. 


"Setelah perkara yang diusulkan disetujui oleh JAMPidum, kesepakatan damai antara tersangka dan korban akan menciptakan harmoni di tengah masyarakat dan tidak ada lagi rasa dendam berkepanjangan," tegasnya. (MC/RED)

Share:
Komentar

Berita Terkini