Bumi Memanas, Ruang Hidup Menyempit

REDAKSI
Senin, 05 Juni 2023 - 21:16
kali dibaca
Ket Foto: Sejumlah massa aksi membentangkan spanduk berisikan ancaman krisis iklim di kawasan Patung Kuda Arjuna Wiwaha, Jakarta, Jumat (3/3/2023).

Oleh: AHMAD ARIF

Mediaapakabar.comSuhu rata-rata di Bumi telah meningkat 1,1 derajat celcius sejak 1880 dengan laju pemanasan di Indonesia lebih cepat. Suhu Bumi diperkirakan bakal melewati titik kritis 1,5 derajat celcius dalam lima tahun mendatang. Tanpa upaya serius menurunkan emisi gas rumah kaca, generasi mendatang bakal menanggung beban besar dari pemanasan global.

Indonesia juga mengalami kenaikan suhu dengan laju rata-rata melebihi tren global. Bahkan suhu di Berau, Kalimantan Timur, telah memanas 0,95 derajat celcius dalam 16 tahun, menjadikannya daerah dengan laju pemanasan tertinggi. Deforestasi yang diikuti penambangan batubara dan urbanisasi telah mempercepat kenaikan suhu.


”Kenaikan suhu semakin cepat, jauh lebih cepat dari prediksi sebelumnya. Ini sangat serius dan mengerikan,” kata Edvin Adrian, ahli iklim Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Wakil Ketua Kelompok Kerja I Panel Lintas Pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), badan ahli di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), di Jakarta, Minggu (4/6/2023).


Setidaknya 2 miliar orang akan berada di luar relung iklim atau kawasan dengan suhu ekstrem yang sulit mendukung kehidupan. Di Indonesia, diprediksi ada sekitar 100 juta penduduk yang bakal berada di zona ekstrem ini.


Laporan terbaru dari Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) pada Rabu (17/5/2023) menunjukkan, suhu rata-rata global di dekat permukaan antara tahun 2023 dan 2027 akan bertambah 1,5 derajat celcius di atas tingkat pra industri (1850-1900) selama setidaknya satu tahun. 


Organisasi di bawah PBB ini juga memproyeksikan, setidaknya satu dari lima tahun ke depan, dan periode lima tahun secara keseluruhan, akan menjadi rekor suhu terpanas sepanjang sejarah pencatatan.


Padahal, Penilaian Keenam IPCC yang dikeluarkan pada Maret 2023 menyebutkan, suhu Bumi akan meningkat 1,5 derajat celcius pada 2030. 


”Kembali meningkatnya emisi karbon pascapandemi Covid-19 dan bakal terjadinya El Nino tahun ini, menjadi pemicu kenaikan suhu yang lebih cepat dari perhitungan sebelumnya,” katanya.


Analisis suhu oleh para ilmuwan di Institut Goddard NASA untuk Studi Luar Angkasa (GISS) menunjukkan, suhu global rata-rata di Bumi saat ini telah meningkat setidaknya 1,1 derajat celcius sejak 1880. Sebagian besar pemanasan terjadi sejak 1975, dengan laju 0,15-0,20 derajat celcius per dekade.


”Peningkatan suhu global 1,1 derajat celcius telah berdampak terhadap berbagai aspek kehidupan, diantaranya semakin intensnya cuaca ekstrem,” kata Edvin.


Dengan kenaikan suhu hingga 1,5 derajat celcius, populasi yang terpapar bencana bakal berlipat ganda, apalagi jika suhu global bertambah 2,8 derajat celcius pada akhir abad ini sebagaimana diprediksi IPCC. Bahkan, jika upaya menekan emisi tidak memadai, suhu global pada 2100 bisa bertambah 3,2 derajat celcius.


Data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menunjukkan, tren peningkatan suhu di sejumlah daerah di Indonesia. 


Menggunakan data observasi BMKG tahun 1981-2018, suhu di Indonesia baik suhu minimum, suhu rata-rata, maupun suhu maksimum, memiliki tren meningkat dengan besaran yang bervariasi sekitar 0,03 derajat celcius setiap tahun atau 0,3 derajat celcius dalam satu dekade.


Namun, sebagian daerah mengalami peningkatan suhu sangat cepat. Laporan penelitian di jurnal Lancet Planetary Health pada 11 November 2021 dengan penulis pertama Nicholas H Wolff dari The Nature Conservancy menunjukkan, kenaikan suhu di Kabupaten Berau antara tahun 2002 dan 2018 atau selama 16 tahun mencapai 0,95 derajat celcius. Tingginya laju deforestasi di kawasan ini menyebabkan tren kenaikan suhu rata-rata mencapai dua kali lipat tren kenaikan suhu di Indonesia atau tiga kali lipat tren kenaikan suhu global.


Menurut kajian ini, dalam periode itu, seluas 4.375 kilometer persegi hutan di Berau telah dibuka. Ini setara dengan sekitar 17 persen dari luasan lahan di seluruh Kabupaten Berau. 


Wolff dan tim kemudian menghitung jumlah kematian yang mungkin disebabkan oleh kenaikan suhu di Berau. Hasilnya, peningkatan suhu harian meningkatkan 7,3-8,5 persen kematian dari semua penyebab atau berkisar 101-118 tambahan kematian per tahun pada 2018 di Berau.


Dampak kenaikan suhu di Berau juga menurunkan produktivitas para pekerja, khususnya petani. Mardiono (54), petani sayur di Kampung Baru, Kelurahan Teluk Bayur, Kecamatan Teluk Bayur, Berau mengatakan, kenaikan suhu telah meningkatkan biaya produksi.


Hal ini karena tanah gampang merekah sehingga ia harus memasang alat penyiram (sprinkler) agar bisa rutin menyiram air hingga tiga kali sehari. Mardiono dan para petani lain juga mengubah jam kerja, di pagi hari dan sore hingga malam hari, untuk menghindari terik matahari di siang hari, yang menyengat.


Sebagai negara kepulauan tropis, Indonesia termasuk yang sangat rentan terdampak kenaikan suhu. Laporan penelitian Timothy M Lenton dari Global Systems Institute, University of Exeter dan tim di jurnal Nature Sustainability pada Senin (22/5/2023) menunjukkan, Indonesia berada di urutan ketiga yang jumlah penduduknya paling banyak terdampak kenaikan suhu global, setelah India dan Nigeria.


Menurut proyeksi Lenton, jika suhu global meningkat hingga 2,7 derajat celcius di akhir abad ini, setidaknya 2 miliar orang akan berada di luar relung iklim atau kawasan dengan suhu ekstrem yang sulit mendukung kehidupan. Di Indonesia, diprediksi ada sekitar 100 juta penduduk yang bakal berada di zona ekstrem ini.


Selain paparan panas, bencana terkait cuaca ekstrem juga bakal meningkat. Banjir pasang, atau lebih buruk lagi, genangan permanen rob, akan semakin parah. Saat ini, banyak kota pesisir di utara Jawa, yang telah terendam banjir rob permanen dan bergantung pada tanggul pesisir. Penurunan muka tanah telah menggandakan dampak kenaikan muka air laut yang dipicu pemanasan global.


Beban generasi mendatang


Ahli biologi konservasi Universitas Indonesia, Jatna Supriatna, mengatakan, selain pemanasan global, dunia saat ini juga menghadapi penurunan keragaman hayati dan pencemaran lingkungan. Tiga krisis yang saling terkait ini bisa memicu kepunahan massal kehidupan yang keenam di Bumi.


”Lima kepunahan massal sebelumnya disebabkan faktor alam. Sekarang, ancaman kepunahan itu karena faktor antropogenik (manusia), emisi kita yang menyebabkan kenaikan suhu. Ditambah kerusakan ekosistem, situasinya sungguh sangat mengkhawatirkan, terutama bagi generasi mendatang,” katanya.


Menurut Jatna, hutan tropis di Indonesia tidak akan bisa bertahan hingga akhir abad ini jika kenaikan suhu mencapai 3 derajat celcius. ”Dengan kenaikan suhu saat ini saja, ekosistem hutan tropis sudah terganggu. Tanaman di hutan kita perbungaannya sangat dipengaruhi cuaca,” katanya.


Sekalipun para ilmuwan telah mencapai konsensus tentang gentingnya kondisi lingkungan saat ini, banyak warga Bumi, terutama pengambil kebijakan, belum menyadarinya. ”Pengambil kebijakan kebanyakan tidak mendengar sains,” kata Jatna.


Hal ini menyebabkan lemahnya aksi nyata mitigasi dan adaptasi. Menurut analisis Climate Action Tracker, semua negara gagal memenuhi target penurunan emisi gas rumah kaca sebagaimana disepakati dalam Perjanjian Paris untuk mencegah kenaikan suhu Bumi tidak lebih dari 1,5 derajat celcius.


Pada 23 September 2022, Indonesia telah menyampaikan peningkatan ambisi penurunan emisi gas rumah kaca melalui dokumen Enhanced NDC (ENDC) Indonesia. Dengan kemampuan sendiri, Indonesia berjanji menurunkan emisi 29 persen meningkat ke 31,89 persen pada ENDC, sedangkan target dengan dukungan internasional pada NDC sebesar 41 persen meningkat ke 43,20 persen pada ENDC.


Peningkatan target tersebut akan dipenuhi melalui FOLU Net-sink 2030, percepatan penggunaan kendaraan listrik, kebijakan B40, peningkatan aksi di sektor limbah seperti pemanfaatan lumpur (sludge) instalasi pengolahan air limbah (IPAL), serta peningkatan target pada sektor pertanian dan industri.


Sekalipun demikian, Jatna justru melihat praktik eksploitasi sumber daya alam dengan dalih untuk memenuhi energi terbarukan malah bisa memperparah krisis lingkungan. ”Sebagai biolog, saya sangat khawatir dengan masifnya penambangan nikel di kawasan Wallacea. Riset kami menemukan footprint (jejak) nikel telah mencemari di mana-mana,” katanya.


Kepulauan Wallacea, yang meliputi Sulawesi, Maluku, Maluku Utara, dan Nusa Tenggara, memiliki keragaman hayati dan spesies endemik tertinggi di Indonesia. 


”Wallacea sangat kaya dengan keragaman hayati, tetapi wilayahnya sempit. Tiap kantong hutan memiliki spesies berbeda dan unik yang tidak bisa ditemui di tempat lain,” katanya.


Sebagai ilustrasi, di Kalimantan dan Sumatera hanya memiliki satu spesies tarsius. Sementara di Sulawesi terdapat 11 spesies tarsius.


”Bayangkan kalau terjadi deforestasi yang masif di kantong-kantong spesies endemik ini, maka yang terjadi adalah kepunahan. Karena itu, harus hati-hati dalam mengeksploitasi Wallacea karena ekosistemnya lebih rapuh dibandingkan pulau besar lain,” katanya.


Jatna mengatakan, di zona Wallacea terdapat sekitar 6.000 pulau kecil yang belum sepenuhnya dieksplorasi potensi lainnya, selain untuk industri ekstraktif. Padahal, kalau dikembangkan untuk pariwisata yang ramah lingkungan bisa lebih berkelanjutan, baik secara ekologis maupun sosial. ”Sekarang demi nikel seolah risiko lingkungan diabaikan. Dampak sosialnya juga sangat besar,” katanya.


Sumber: kompas.id

Share:
Komentar

Berita Terkini