Ket Foto: Ilustrasi. Uganda sahkan UU anti-LGBT, pelaku bisa dihukum mati. (Istockphoto/Marilyn Nieves) |
Mediaapakabar.com - Presiden Uganda Yoweri Museveni menandatangani undang-undang anti-lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) yang bisa menghukum mati para pelakunya.
Diberitakan Reuters, undang-undang ini menetapkan hukuman mati bagi "pelanggar berantai" yang melawan hukum dan menularkan penyakit mematikan seperti HIV/AIDS melalui hubungan seksual sesama jenis.
Lawan Erdogan Sebut Pemilu Tak Adil sampai China Damprat Israel di PBB
Mereka yang mempromosikan homoseksualitas juga bisa dipenjara 20 tahun.
Menurut Museveni, homoseksualitas merupakan "penyimpangan" dari nilai-nilai "normal" di negara tersebut. Ia pun mendesak anggota parlemen untuk melawan tekanan "imperialis."
Pencantuman hukuman mati bagi pelanggar aturan ini memantik amarah sebagian dunia internasional.
Pasalnya, dalam regulasi Uganda sebelumnya, pelaku hanya akan dihukum maksimal 10 tahun penjara karena sengaja menularkan HIV. Hukuman ini tidak berlaku ketika orang yang tertular infeksi mengetahui status HIV pasangan seksual mereka.
Sebaliknya, dalam undang-undang baru, tidak dibedakan antara penularan yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Beleid ini juga tidak mengandung pengecualian berdasarkan kesadaran akan status HIV pasangan.
Meski begitu, versi amandemen ini menetapkan bahwa mengidentifikasi diri sebagai LGBT bukanlah bentuk kejahatan. UU baru ini juga merevisi aturan yang mewajibkan orang untuk melaporkan aktivitas homoseksualnya menjadi hanya wajib melapor jika seorang anak terlibat.
Merespons undang-undang baru ini, sejumlah rakyat Uganda, terutama kaum LGBT, mengaku kecewa dengan keputusan pemerintah. Pembuat film Afrika Selatan Lerato mengatakan keputusan ini adalah hal memalukan dan bisa disamakan dengan "apartheid".
Apartheid merupakan sistem pemisahan ras yang diterapkan oleh pemerintah kulit putih di Afrika Selatan sekitar awal abad ke-20 silam.
"Untuk mengurangi segala jenis manusia, terlepas dari seksualitas mereka, dihukum mati berdasarkan siapa yang mereka identifikasi dan bagaimana mereka memilih untuk menjalani hidup mereka adalah sesuatu yang sangat memalukan sebagai sebuah benua," ucapnya.
Aktivis hak asasi manusia Uganda, Clare Byarugaba, juga mengatakan pengesahan ini merupakan bentuk pelegalan "homofobia dan transfobia yang disponsori negara."
Presiden Amerika Serikat Joe Biden juga menilai langkah tersebut merupakan "pelanggaran tragis" terhadap hak asasi manusia. Ia pun menegaskan Washington bakal mengevaluasi implikasi undang-undang itu "pada semua aspek keterlibatan AS dengan Uganda."
"Kami sedang mempertimbangkan langkah-langkah tambahan, termasuk penerapan sanksi dan pembatasan masuk ke Amerika Serikat terhadap siapa pun yang terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia serius atau korupsi," tuturnya.
Kanada juga menyampaikan kemarahannya atas regulasi baru ini. Kanada menyebut langkah ini sebagai sesuatu yang "menjijikkan, kejam, dan tidak adil."
Inggris dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga mengaku terkejut dengan penandatanganan UU yang dinilai mereka "diskriminatif".
Hubungan sesama jenis sebetulnya sudah dilarang di Uganda, sama seperti di lebih dari 30 negara Afrika lainnya. Larangan itu dikarenakan Uganda merupakan negara yang masih kental dengan nilai-nilai agama.
Sikap anti-LGBT di Afrika sendiri berakar pada era kolonial, salah satunya terkait hukum pidana Inggris yang menargetkan para pelaku sodomi. Meski begitu, pada 1967, Inggris akhirnya melegalisasi hubungan sesama jenis. (CNNI/MC)