Mediaapakabar.com - Pasca penetapan Irjen Ferdy Sambo sebagai tersangka kasus dugaan pembunuhan terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J, banyak persepsi yang muncul dalam berbagai kelangan.
Salah satu yang gencar dan ramai diperbincangkan adalah, hukuman yang akan diberikan kepada Ferdy Sambo. Publik diramaikan dengan isu hukuman mati sesuai undang-undang yang berlaku.
Akan tetapi ada juga yang menepisnya dengan berbagai alasan. Termasuk salah satunya adalah pendapat dari Profesor Romli Atmasasmita.
Pakar Hukum Pidana dari Universitas Padjadjaran, Prof. Romli Atmasasmita tak yakin, dalang kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir J, yakni Irjen Ferdy Sambo bakal didakwa hukuman mati.
Alasannya, kasus ini tidak memiliki kaitan dengan kepentingan masyarakat luas, dan kepentingan keamanan negara.
"Saya tidak yakin, hakim akan menjatuhkan hukuman mati. Karena kasus pembunuhan ini kan dipicu oleh urusan keluarga antara Irjen FS dan istri, Nyonya PC. Tidak ada kaitannya dengan kepentingan masyarakat luas dan keamanan negara," kata Romli dikutip dari terkini.id, Senin, 15 Agustus 2022.
Romli menjelaskan, pembunuhan berencana yang maksimal dapat dijatuhi pidana mati minimal 20 tahun pidana penjara, sesuai Pasal 340 KUHP, termasuk tindak kejahatan terberat dl Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang saat ini berlaku.
Jika dakwaan terbukti, dan kemudian menjadi putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap melalui Mahkamah Agung (MA), maka eksekusi hukuman mati yang dilaksanakan dengan cara ditembak mati, biasanya dilakukan di Pulau Nusakambangan.
"Tapi tentu saja, tidak semudah itu. Karena dalam menjatuhkan putusan, hakim tidak harus sama sependapat dengan jaksa penuntut," kata akademisi kelahiran 1 Agustus 1944.
Dalam hukum pidana, kata Romli, motivasi kerap dijadikan pertimbangan hakim terkait masalah kemanusiaan. Bukan urusan orang mati, terluka, atau cacat korban saja.
"Karena itu, hakim wajib memiliki wawasan yang luas. Orang yang mencuri karena serakah, hukumannya tidak bisa disamakan dengan orang yang mencuri karena kelaparan," paparnya.
Menurut Romli, direncanakan atau tidaknya suatu aksi kejahatan, sangat tergantung pada fakta yang ditemukan dalam penyelidikan, serta keterangan para saksi dan tersangka. Di samping harus didahului oleh fakta adanya persiapan untuk melakukan pembunuhan.
"Jika fakta persiapan tidak terbukti atau tidak memiliki kekuatan bukti yang sempurna, maka seharusnya dikenakan pasal pembunuhan biasa atau Pasal 338 KUHPidana," pungkasnya. (TI/MC)