Parliamentary Threshold, Antara Penguatan Parpol dan Suara Rakyat yang Terbuang

REDAKSI
Minggu, 19 Juni 2022 - 12:01
kali dibaca
Ket Foto : Webinar nasional kelas Komunikasi Politik, Magister Komunikasi Universitas Mercu Buana (Mikom UMB) yang bertajuk “Parliamentary Threshold: Sebuah Tantangan Bagi Partai Baru”, melalui siaran Zoom, Sabtu (18/6/2022). 

Mediaapakabar.com
Parliamentary threshold (PT) merupakan ketentuan ambang batas parlemen yang telah diberlakukan sejak Pemilu 2009 dengan angka 2,5%, lalu terus meningkat seiring dengan adanya revisi Undang-Undang Pemilu, hingga terakhir ketentuan PT ini naik menjadi 4%. 

Hingga hari ini, ketentuan PT terus menjadi pro kontra antara partai politik (parpol) besar dan kecil.  


Sejumlah pandangan, kritik dan saran terkait ketentuan PT ini disampaikan oleh sejumlah narasumber yang kompeten dalam webinar nasional kelas Komunikasi Politik, Magister Komunikasi Universitas Mercu Buana (Mikom UMB) yang bertajuk “Parliamentary Threshold: Sebuah Tantangan Bagi Partai Baru”, melalui siaran Zoom, Sabtu (18/6/2022). 


Terkait ketentuan ini, Anggota Komisi II DPR RI Rifqinizami Karsayudha mengatakan bahwa 9 fraksi di DPR RI telah sepakat bahwa tidak ada revisi UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu) untuk DPR periode ini. Sehingga, norma yang berlaku pada Pemilu 2024 adalah norma yang berlaku seperti Pemilu 2019, karena tidak ada norma baru dan perubahan. 


“Nah, karenanya, ketentuan terkait parliamentary threshold 4% saya pastikan akan tetap digunakan sebagai dasar bagi partai-partai politik untuk berkontestasi dalam pemilu legislatif khususnya pemilihan anggota DPR RI pada tahun 2024 yang akan datang,” kata politikus PDI Perjuangan ini dalam pemaparannya. 


Pria yang akrab disapa Rifqi pun menegaskan bahwa ketentuan PT ini hanya berlaku di tingkat nasional, meskipun sempat ada diskursus penetapan PT secara berjenjang untuk DPRD provinsi dan kabupaten/kota.


Kemudian, kata Rifqi, dalam teori tentang institusionalisasi atau pelembagaan parpol. Salah satu indikator pelembagaan parpol adalah sejauh mana parpol itu memiliki akar yang kokoh, atau basis konstituen yang kokoh. 


Dan hal itu harus dibalut dalam suatu ideologi parpol masing-masing untuk diuji di pemilu. Dan akar dari parpol itu harus dikuatkan, bisa secara alamiah dan juga melalui sebuah regulasi, yakni dengan kehadiran PT 4%.


“Semakin parpol terlembaga maka semakin sehat dia. Angka 4% adalah angka yang moderat menurut pandangan kami sehingga memungkinkan partai-partai baru untuk tetap bisa eksis di DPR RI atau parlemen di tingkat nasional,” paparnya. 


Menurut legislator Dapil Kalimantan Selatan I ini, sejumlah partai baru yang belum bisa tembus PT pada Pemilu 2019 adalah fakta politik yang tidak bisa diabaikan, begitu pula dengan dua partai yang sebelumnya eksis di DPR dalam hal ini PBB dan Hanura. Tetapi, ada juga parpol yang sukses yakni Partai Nasdem dan Partai Gerindra. 


“Tidak ada garansi bagi partai-partai yang sudah eksis di DPR, kalau mereka tidak merawat basis konstituen, bekerja untuk rakyat, berjuang untuk aspirasi rakyat, tidak diapresiasi kerja-kerja parlementernya termasuk kerja-kerja wakil-wakilnya di eksekutif termasuk strukturnya di tingkat bawah. PT ini early warning untuk terus memastikan kekuatan akar rumput kami bekerja dengan baik,” tutupnya. 


Sementara itu, Dosen Komunikasi dan Kebijakan Publik Mikom UMB Syaifuddin menyampaikan, harus dipahami bahwa PT ini salah satu komponen penting dalam sebuah sistem pemilu. Dan untuk mencari solusi tentang benang kusut PT ini, pembahasannya tidak bisa berhenti pada persoalan PT saja, sebab tidak akan pernah tuntas, karena PT tidak berdiri tunggal dalam sistem hukum kepemiluan.


“PT saling terkait dengan komponen-komponen lain dalam sistem pemilu kita, tapi ada sifat interdependensi, saling ketergantungan antara satu komponen dengan komponen lainnya, electoral threshold, presidential threshold, sistem proporsional, dengan sistem multipartai, dengan sistem presidensial dan seterusnya,” ujarnya di kesempatan sama. 


“Komponen-komponen yang ada dalam pemilu sebagai sebuah sistem ini harus dibuka dalam komponen-komponen pokok terkait sistem pemilu ini, khususnya parliamentary threshold,” sambungnya.  


Pria yang akrab disapa Dr. Budi ini melihat, perdebatan pembahasan PT 4% sudah sering terjadi di Komisi II DPR RI tapi gagal, karena masing-masing fraksi memiliki kepentingannya sendiri. 


Bagi parpol yang kontra terhadap PT 4%, Budi memaparkan, semakin besar PT dinaikkan maka semakin besar suara rakyat yang terbuang percuma, bahkan Ferry Kurnia menyampaikan ada 13,5 juta lebih suara parpol yang terbuang percuma pada Pemilu 2019 dan 9 parpol tidak lolos PT di Pemilu 2019. Lalu, pemberlakuan PT ini melanggar demokrasi karena hilangnya suara yang begitu besar, PT juga mengurangi nilai proporsionalitas alokasi kursi di Senayan.


“Mustahil parpol di Senayan menurunkan PT dari 4% menjadi 0%. Yang ingin menaikkan PT dianggap parpol baru termasuk Gelora sebagai akal-akalan parpol besar,” tukasnya. 


Budi melanjutkan, sementara makna dari pemberlakuan PT bagi para regulatornya adalah produk repetisi politik, logika daripada political game theory. Menurutnya, pembahasan PT ini menjadi ruang negosiasi senyap yang dilihat sebagai tipu muslihat antara parpol-parpol besar yang ada di parlemen. Ini adalah soal role play dalam proses kalkulasi kepentingan dan tarik menarik kepentingan parpol dan PT ini urusan rakyat yang dilupakan. 


“Pemberlakukan PT ini tindakan politik buta dan tuli karena tidak memperhatikan kondisi masyarakat yang majemuk, kondisi di daerah. Masalah PT yang cenderung ini akan dinaikkan semakin meningkatkan disproporsionalistas pemilu nanti, sementara perubahan revisi UU pemilu sudah tidak mungkin dilakukan, ini masalah,” paparnya. 


Oleh karena itu, Doktor Budi ingin memberikan dua solusi untuk sistem kepartaian dan pemilu. Sebagaimana diketahui, di dunia ini ada 3 sistem kepartaian yang berlaku yakni: sistem partai tunggal. kedua, sistem dua partai. ketiga, sistem multipartai. Lalu pilihan solusi pertama, memberlakukan three party participatory model atau model partisipasi 3 partai. Berbeda dengan era Orde Baru (Orba), model ini menjadi jalan keluar untuk menguatkan konsensus dan meredam pro dan kontra PT.


“Tiga partai akan mampu mengakomodasi secara efektif dan efisien semua kepentingan yang telah mengakar dalam sejarah masyarakat Indonesia, ada nasionalis, agama dan sosialis atau bisa saja komunis,” terangnya. 


“Kalau kita berangkat dari sejarah dan multikultural bangsa Indoensia dari berdiri ya tiga keloimpok itu. Model three party ini barangkali bisa relevan,” sambungnya.  


Gagasan kedua, dia menambahkan, deliberatif static multipartai atau model partai statik deliberatif. Ruhnya, dalam sistem pengambilan keputusan diambil dan diilhami dalam perpaduan sistem demokrasi terpimpin dan demokrasi deliberatif Jurgen Habermas sebagai rajutan sila ke-4, yang semangatnya musyawarah untuk mufakat.


“Partai yang mencapai PT yang memimpin fraksi, dan yang tidak mencapai PT adalah perwakilan di dalam fraksi. Jadi fraksi sarana politik bersama untuk musyawarah mencapai mufakat, antara parpol besar dan parpol kecil, sehingga suara yang diperoleh tidak terbuang cuma-cuma seperti 13,5 juta tadi. Penggabungan suara parpol yang tidak mencapai kepada parpol yang mencapai PT, tidak ada fusi partai, arahnya penggabungan suara parpol,” jelas Doktor Budi. 


Sementara itu, Wakil Ketua Umum DPP Partai Persatuan Indonesia (Perindo), Ferry Kurnia Rizkiansyah menyampaikan bahwa pihaknya sangat optimistis menembus angka 4% pada Pemilu Legislatif (Pileg) 2024 mendatang.


“Bahwa kita akan mencapai 4 persen suara ya dan bahkan itu bisa saja lebih,” ungkap Ferry. 


Menurut eks Komisioner KPU RI ini, sejumlah persiapan juga telah dilakukan oleh Partai Perindo. Hal itu meliputi penguatan struktur organigram partai sebagai modal awal, juga penguatan eksternal partai.


Bahkan, kata Ferry, Perindo telah membuat berbagai macam gagasan, salah duanya adalah Konvensi Rakyat Perindo sebagai sarana menjaring calon-calon legislator terbaik dan menggagas Koalisi Non Parlemen.


“Konvensi Rakyat ini sudah dilakukan. Ini akan merubah narasi besar dan merubah proses demokrasi yang lebih proaktif. Kita juga menggagas Koalisi Non Parlemen, itulah menjadi hal yang kita lakukan,” ungkapnya.


Di kesempatan yang sama, Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah menyinggung adanya cara-cara kotor dalam yang kerap ditemui saat Pemilu di Indonesia, yakni 'serangan fajar', perang alat peraga, pembagian bantuan sosial (bansos), bukan adu gagasan-gagasan untuk membawa perubahan lebih baik untuk bangsa. 


“Setiap Pemilu yang seharusnya itu momentum memunculkan gagasan kebangsaan baru, membiarkan pemimpin kita untuk menunjukkan bahwa dia mampu menghadapi persoalan bangsa,” kata Fahri di kesempatan sama. 


Fahri mengusulkan, semestinya pemerintah menanggung 100% biaya pemilu, termasuk dana untuk partai politik (Parpol). Pasalnya, parpol dan para kandidatnya harus difasilitasi negara, sebab kalau tidak nanti menyebabkan orang-orang yang punya banyak uang, menyelinap membiayai partai politik.


“Jika biaya politik ditanggung tiap individu, nantinya tokoh politik merasa harus mengembalikan modal yang ia keluarkan untuk jabatan tertentu. Terlebih, biaya politik di Indonesia tidak murah,” gagasnya. 


Mantan Wakil Ketua DPR RI ini pun menyoroti anggaran Pemilu 2024 yang telah disepakati Pemerintah, DPR RI dan penyelenggara pemilu yakni KPU, Bawaslu dan DKPP di angka Rp 76,6 triliun. Angka ini didapat setelah beberapa kali dilakukan revisi dari semula Rp 86 triliun.


Politikus asal Nusa Tenggara Barat (NTB) ini pun khawatir bahwa para tokoh politik sudah menganggap dana yang dikeluarkan selama kampanye adalah biaya pribadinya, maka yang terjadi berikutnya adalah mereka akan mengatakan sekarang harus balik modal.


“Atau bohir-bohir (pemodal) yang membayar dia lalu kemudian ingin modalnya supaya dibalikin,” bebernya. 


Menurut dia, dampak dari fenomena politik seperti itu berpotensi untuk menciptakan regulasi-regulasi yang tidak berpihak pada masyarakat dan ini yang secara halus atau kasar nampak pada hari-hari ini di depan mata. Fenomena ini juga ancaman bagi demokrasi Indonesia, karena semakin besar potensi transaksi dalam politik


Bahkan, Fahri menambahkan, setiap upaya untuk memonetisasi pertarungan ide ini berbahaya, makanya harus ada keseriusan Pemerintah untuk membahas cara bagaimana membiayai pemilu.


“Menurut saya ini adalah lingkaran setan yang harus kita putus melalui menyadari kembali bahwa demokrasi adalah pertarungan ide,” tandasnya. 


Dalam webinar tersebut, turut hadir Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana, Dr. Elly Yuliawati, M.Si dan Kepala Program Studi Magister Ilmu Komunikasi, Bapak Dr. Heri Budianto, M.Si yang turut memberikan sambutan. Acara yang dipandu oleh Rangga Kurnia Sakti, Mahasiswa Magister Komunikasi Politik, berlangsung selama 2,5 jam dan dihadiri oleh 295 peserta secara virtual. (MC/DAF)

Share:
Komentar

Berita Terkini