Ket Foto : Herry Wirawan saat digiring petugas setelah menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Kota Bandung beberapa waktu lalu. |
Mediaapakabar.com - Herry Wirawan, terdakwa pemerkosa 12 santriwati di Bandung, hanya tertegun saat majelis hakim pengadilan tinggi membacakan vonis mati untuknya. Di balik maskernya, tatapan Herry tampak kosong. Predator seks itu kini harus menerima ganjaran dari aksi biadabnya.
Dalam sidang yang dilaksanakan secara terbuka kemarin (4/4/2022), majelis hakim menerima banding yang diajukan jaksa penuntut umum (JPU).
Hukuman penjara seumur hidup yang diputus oleh Pengadilan Negeri (PN) Bandung diperberat menjadi hukuman mati.
Vonis tersebut diketok hakim ketua Herri Swantoro dan dua hakim anggota, Yuli Heryati dan Nur Aslam Bustaman. Dalam keterangan resmi yang diterima Jawa Pos, majelis hakim menegaskan bahwa tidak ada hal yang bisa meringankan hukuman terdakwa.
Karena itu, majelis hakim tidak ragu menerima banding JPU dan memperbaiki putusan PN Bandung nomor 989/ Pid.Sus/2022/PN.Bdg. Dalam putusan tersebut, majelis hakim PN Bandung menghukum Herry dengan penjara seumur hidup. Putusan itu pula yang diubah oleh Pengadilan Tinggi Bandung.
’’Menghukum terdakwa oleh karena itu dengan pidana mati,’’ bunyi amar tersebut. Bukan hanya itu, majelis hakim Pengadilan Tinggi Bandung meminta Herry tetap ditahan. Restitusi dengan total nilai Rp 331.527.186 juga dibebankan kepada terdakwa. Restitusi itu diperuntukkan 12 korban.
Majelis hakim menyebutkan bahwa nilai restitusi sudah melalui pertimbangan dan penghitungan kerugian korban. Penghitungan dilakukan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Selain membebankan restitusi kepada Herry, majelis hakim memerintahkan agar harta atau aset milik terdakwa dirampas. Harta dan aset tersebut akan dilelang. Kemudian, hasilnya diserahkan ke Pemda Jawa Barat.
Selanjutnya, Pemda Jawa Barat harus menggunakan uang hasil lelang itu untuk biaya pendidikan dan kebutuhan hidup para korban dan bayinya. ’’Hingga mereka dewasa atau menikah,’’ terang majelis hakim.
Jumlah bayi dari 12 korban rudapaksa Herry mencapai sembilan orang. Lewat putusan kemarin, perawatan sembilan bayi tersebut diserahkan ke Pemda Jawa Barat. Namun, penyerahan itu harus seizin keluarga korban.
Pemda Jawa Barat juga diminta melakukan evaluasi secara berkala. Jika hasil evaluasi menunjukkan bahwa para korban sudah siap secara mental dan kejiwaan, perawatan sembilan bayi itu boleh dikembalikan kepada setiap korban.
Putusan tersebut diapresiasi sejumlah kalangan. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kejagung) Ketut Sumedana menyatakan, pihaknya menghormati putusan itu. ’’Dan mengapresiasi (jaksa) penuntut umum karena tuntutan dan pertimbangan hukumnya telah diakomodasi dalam putusan,’’ paparnya dikutip dari Jawa Pos.
Selanjutnya, Kejagung menunggu respons terdakwa atas putusan tersebut. ’’Menerima atau memutuskan banding,’’ imbuhnya.
Sementara itu, Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu menyampaikan, sejak PN Bandung membacakan putusan untuk Herry, pihaknya menjalin komunikasi dengan berbagai pihak. Termasuk Pengadilan Tinggi Bandung dan terdakwa.
’’Dari komunikasi dengan Herry Wirawan, dia menyatakan bersedia membayar restitusi,’’ ungkap Edwin. Berdasar perhitungan LPSK, harta dan aset terdakwa cukup untuk membayar restitusi bagi para korban.
Menurut Edwin, Herry juga sudah menyampaikan kepada LPSK bakal bertanggung jawab. ’’Kepada LPSK, dia membuat surat tertulis asetnya apa saja dan nilai-nilai yang dibayarkan kepada para korban,’’ ujarnya.
Sebelumnya, banyak pihak mempertanyakan putusan PN Bandung yang menyerahkan tanggung jawab restitusi kepada pemerintah. Sebab, restitusi memang menjadi kewajiban terdakwa. Bukan pemerintah.
Terkait vonis hukuman mati yang dijatuhkan Pengadilan Tinggi Bandung, LPSK menyatakan bahwa hal itu menjadi ranah majelis hakim. Pihaknya tak ingin terlalu jauh berkomentar.
Bahwa dalam komunikasi yang dilakukan LPSK memberikan sejumlah contoh kasus kepada Pengadilan Tinggi Bandung, hal itu tidak berkaitan dengan putusan yang dibacakan kemarin.
’’Yang jelas, restitusi menjadi tanggung jawab pelaku. Itulah yang diluruskan Pengadilan Tinggi Bandung,’’ tegas Edwin.
Putusan itu direspons positif oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga. Menurut dia, keputusan tersebut sesuai dengan UU 17/2016 tentang Perlindungan Anak. Putusan itu juga sesuai dengan harapan masyarakat.
Demikian pula terkait putusan restitusi yang akhirnya dibebankan kepada pelaku, bukan pemerintah. ’’Menurut kami sudah sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku,’’ ucapnya.
Dia berharap hukuman mati dan pembebanan restitusi kepada pelaku tidak hanya memberikan efek jera, tapi juga mencegah terulangnya kasus serupa. ’’Juga memastikan kepentingan terbaik bagi anak-anak korban beserta anak-anak yang dilahirkan,’’ tegasnya.
Dari amar putusan hakim, pertimbangan yang memberatkan hukuman, antara lain, perbuatan terdakwa menimbulkan trauma dan penderitaan bagi korban dan orang tua korban. Perbuatan terdakwa juga dianggap mencemarkan lembaga pondok pesantren dan merusak citra Islam.
Hakim juga memutuskan untuk merampas harta/aset terdakwa yang berupa tanah dan bangunan, serta hak-hak terdakwa dalam Yayasan Yatim Piatu Manarul Huda, Pondok Pesantren Tahfidz Madani, Boarding School Yayasan Manarul Huda, serta aset lain –baik yang sudah disita maupun belum disita.
Aset tersebut akan dilelang. Hasilnya diserahkan untuk biaya pendidikan dan kelangsungan hidup para anak korban serta bayi-bayinya hingga mereka dewasa atau menikah.
Terkait perawatan bayi para korban, lanjut dia, memang akan diserahkan ke UPT Perlindungan Perempuan dan Anak Provinsi Jawa Barat setelah mendapat izin dari keluarga masing masing. Tentu disertai evaluasi secara berkala.
Apabila dari hasil evaluasi ternyata para korban dan anak korban sudah siap mental dan kejiwaan, bayi-bayi itu akan dikembalikan ke keluarga masing-masing.
Di sisi lain, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil menyambut baik kabar tersebut. Menurut dia, hukuman mati sangat pantas diberikan lantaran perbuatan Herry sangat kejam
“Saya kira apa yang diputuskan pengadilan tinggi memenuhi rasa keadilan di masyarakat. Ini mudah-mudahan menjadi pelajaran besar dalam sejarah bangsa ini,” tutur Ridwan Kamil. (JC/MC)