Harga Cabai Diprediksi Masih Bergejolak di 2022

REDAKSI
Selasa, 07 Desember 2021 - 17:56
kali dibaca
Ket Foto : Ilustrasi.

Mediaapakabar.com
Salah satu yang membuat pengendalian inflasi mengalami kesulitan disebabkan adanya fluktuasi pada harga komoditas cabai khususnya cabai merah. Namun, di tahun ini, fluktuasi pada harga cabai merah cukup terkendali. 

Dimana, rekor harga yang paling mahal berada di kisaran Rp50.000 per kilogram dan level terendah ada kisaran angka Rp18.000 per kilogram.


"Memang saat ini terjadi fluktuasi yang cukup besar pada komoditas cabai rawit. Dimana, harga cabai rawit sempat menyentuh harga Rp90.000 per kilogram di awal tahun 2022 dan berada di level terendah Rp24.000 per kilogram," kata Pengamat Ekonomi Sumut, Gunawan Benjamin di Medan, Selasa, 07 Desember 2021.


Meski demikian, sumbangan inflasi yang dihasilkan dari kenaikan harga cabai rawit, masih kalah jauh dibandingkan dengan sumbangan inflasi dari cabai merah.


Menurut Gunawan, cabai merah kerap merepotkan saat berfluktuasi dan tidak jarang memicu terjadinya inflasi yang besar. Namun, cabai merah maupun komoditas cabai pada umumnya dihasilkan dari produksi dalam negeri, sehingga hampir semua sentimen atau faktor-faktor pembentukan harga didominasi oleh faktor internal.


Fluktuasi harga cabai umumnya dipicu oleh masalah produksi yang kerap terganggu oleh cuaca. Apalagi di Sumut, longsor dan cuaca buruk yang mengganggu produksi dan jalur distribusi dari Tanah Karo turut memicu terjadinya kenaikan harga komoditas cabai. 


Meskipun tidak sepenuhnya cabai dihasilkan dari sana, namun kontribusi pembentukan harga dari Tanah Karo dan sekitarnya sangat dominan dibandingkan dengan kontribusi pembentukan harga dari wilayah lain.


"Untuk cabai sendiri selain dari Tanah Karo dan sekitarnya, juga kerap didatangkan dari wilayah lain. Umumnya dari wilayah Batubara, Aceh, maupun dari pulau Jawa. Kehadiran cabai dari wilayah luar tersebut yang menjadi salah satu pemicu penurunan harga cabai di Kota Medan. Harga cabai di tahun 2021 yang sempat menyentuh level 50 ribu per kilogram itu lebih dikarenakan oleh pasokan yang bergantung hampir 100 persen dari Tanah Karo.


"Di tahun depan, saya melihat cabai akan terus berfluktuasi. Produktivitas tanaman cabai tidak akan banyak dipengaruhi oleh perubahan kurs mata uang rupiah, pemulihan kinerja ekonomi global, termasuk juga adanya varian Covid-19 Omicron. Cabai akan lebih banyak dipengaruhi oleh cuaca, jalur distribusi, pasokan dari luar wilayah Sumut serta pola tanam petani," ujarnya. 


Kalau tren konsumsi cabai relatif stabil setiap harinya. Jadi keberhasilan dalam mengendalikan harga cabai justru sangat bergantung pada keberhasilan dalam hal penyediaan pasokannya itu sendiri. Selama pasokan terkendali, maka harga cabai akan bergerak stabil dan tidak memicu terjadinya kenaikan harga yang ekstrim, yang bisa memicu terjadi kenaikan laju tekanan inflasi.


"Untuk itu pemerintah harus lebih bisa mengendalikan sisi pasokan dengan menjaga produksi di tingkat petani, menjaga jalur distribusi. Tetapi masih ada beberapa hal yang mungkin sulit untuk dikendalikan. Diantaranya adalah adanya ketimpangan permintaan cabai antar wilayah. Kalau tadi saya menyebutkan bahwa cabai di Sumut tidak hanya dipasok dari Sumut namun juga dari wilayah lain," ungkapnya.


Lebih lanjut, Gunawan menambahkan, kondisi cuaca antar wilayah yang berbeda, serta kebutuhan cabai di luar wilayah bisa memicu terjadinya gangguan pasokan di Sumut. Inilah salah satu masalah atau tantangan yang dihadapi dalam pengendalian harga cabai setiap tahunnya. Jika bicara pasokan dari wilayah Sumut memang selalu tersedia. Namun tidak bisa menjamin 100 persen adanya kestabilan harga. (IK)

Share:
Komentar

Berita Terkini