Tolak 0,93 Persen Kenaikan UMP 2022, Gerakan Buruh Maksimal Minta Menaker RI Dicopot

REDAKSI
Senin, 22 November 2021 - 17:09
kali dibaca
Ket Foto : Majelis Aksi Sumatera Utara Menuntut Upah Layak (Gerakan Buruh Maksimal) saat menggelar konferensi pers usai Audiensi dengan Badan Pusat Statistik (BPS) Sumut, Senin, 22 November 2021.

Mediaapakabar.com
Majelis Aksi Sumatera Utara Menuntut Upah Layak (Gerakan Buruh Maksimal) menolak penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) Sumut Tahun 2022 yang naik 0,93 persen senilai Rp2.522.609 dari UMP 2021 senilai Rp2.499 423. 

Penolakan tersebut disampaikan Gerakan Buruh Maksimal yang terdiri dari 16 perwakilan aliansi Serikat Pekerja/Buruh diantaranya GSBI, SPN, FSPMI, (K) SBSI, SBSI 1992, F Serbundo, PPMI, Serbunas, FSPI, F SPM2I, SBMI Merdeka, SPR, SBMI Sumut, SBBI, FSB Lomenik, FSB Kikes usai audiensi dengan Badan Pusat Statistik (BPS) Sumut, Senin (22/11/2021) siang.


Koordinator Majelis Aksi Sumatera Utara Menuntut Upah Layak (Gerakan Buruh Maksimal), Tony Rikson Silalahi menyampaikan, dalam audiensi yang diterima langsung Kepala BPS Sumut tersebut 16 perwakilan serikat buruh mencatat tujuh poin penolakan atas penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2022.


"Pertama, ada penggunaan data yang berbeda antara kementerian tenaga kerja dengan BPS Sumut terkait data konsumsi perkapita, perorangan dengan per keluarga. Info yang kita dapat bahwa  data perkapita itu angkanya Rp1.142.000,  kementerian tenaga kerja mengatakan data ini adalah data konsumsi keluarga. Ternyata setelah kita berdiskusi dengan BPS Sumut, itu data perorangan, per kapita untuk satu orang," sebutnya.


Kedua, lanjutnya, data yang disajikan BPS Sumut kepada kementerian tenaga kerja tidak real/tidak update. Selanjutnya yang ketiga, survei data implasi tidak real atau tidak masiv karena hanya mendata 5 dari 33 Kabupaten/Kota yang ada di Sumatera Utara.


"Keempat, tidak ada data prediksi untuk penentuan upah, jadi untuk menentukan upah 2022 data yang disajikan oleh BPS kepada kementrian itu data bulan november, september 2021. Jelas prediksi data tahun 2021 ini bukan merupakan data update, karena data tahun 2022 akan ada perubahan baik pertumbuhan ekonomi, implasi dan lain-lain," tegasnya.


Kemudian yang kelima, Majelis Aksi Sumatera Utara Menuntut Upah Layak (Gerakan Buruh Maksimal) menilai, BPS Sumut hanya dijadikan "stempel" oleh pemerintah pusat untuk melegalisasi kebijakan upah murah yang diatur oleh PP 36 tahun 2021 tentang pengupahan yang merupakan turunan dari UU Omnibus Law Cipta Kerja Nomor 11 tahun 2020.


"Yang keenam, tidak ada lagi hak demokrasi bagi pekerja buruh untuk membahas dan menentukan upahnya sendiri. Jadi hak demokrasi buruh sudah dirampas oleh pengusaha dan pemerintah pusat," sebutnya.


Poin terakhir lanjutnya, PP 36 tahun 2021 tentang pengupahan dinilai telah merampas kewenangan kepala daerah dalam membuat kebijakan di daerahnya sebagaimana dijamin oleh UU No 12 tahun 2008 tentang Otonomi daerah.


"Jadi peraturan pemerintah 36 tentang pengupahan itu menabrak UU no 12 tahun 2008 tentang otonomi daerah yang lebih tinggi diatasnya. Karena otonomi daerah itu memberi kewenangan kepada kepala daerah untuk membuat kebijakan di daerahnya, tapi dengan PP 36 itu, kewenangan tersebut dirampas," tandasnya.


Selain itu, Anggiat Pasaribu, Ketua SPN Sumut yang juga hadir pada kesempatan itu menambahkan, menyangkut tujuh poin alasan penolakan tersebut Majelis Aksi Sumatera Utara Menuntut Upah Layak (Gerakan Buruh Maksimal) akan melakukan upaya-upaya sesuai hak konstituen serikat buruh yang ada.


"Kami akan merencanakan akan besar-besaran dan meminta seluruh elemen buruh yang ada di Sumatera Utara agar turun ke jalan. Harapan kita ke depan penetapan UMP di Sumatera Utara harus mengacu pada PP 78," tandasnya. 


Sementara itu, Ketua Umum Serikat Buruh Merdeka Indonesia (SBMI), Rintang Berutu menambahkan, soal kenaikan upah sebesar 0,93 persen yang terbilang kecil itu serikat pekerja/buruh akan melakukan perlawanan atas kebijakan pemerintah pusat khususnya Kementerian Tenaga kerja dalam dalam hal penetapan Upah Minimum Provinsi yang tidak lagi mengikutsertakan dewan pengupahan dan pemerintah daerah Kabupaten/Kota.


"Karena itu yang harus bertanggung jawab atas kenaikan upah yang sangat kecil ini adalah Menaker RI, Ida Fauziah. Maka kami meminta agar Menaker dicopot dari jabatannya," ketusnya. (MC/DAF)

Share:
Komentar

Berita Terkini