Petani Perkebunan Sejahtera, Petani Hortikultura Merana

REDAKSI
Selasa, 16 November 2021 - 21:50
kali dibaca
Ket Foto : Ilustrasi.

Mediaapakabar.com
Pada Oktober 2021, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan nilai tukar petani di Sumut sebesar 123,21. Lebih tinggi dari basis perhitungan di angka 100. 

Hal itu berarti, jika indeks nilai tukar petani (NTP) di atas 100, maka daya beli petani Sumut membaik dibandingkan dengan tahun dasar perhitungan indeks itu sendiri. 


Pengamat Ekonomi Sumut, Gunawan Benjamin mengatakan, ini merupakan kabar baik. Namun,  perlu merinci bagaimana dengan petani-petani per subsektor nya. Karena bisa saja NTP yang cukup baik tersebut tidak bisa dinikmati oleh semua petani. 


"Bisa saja ada petani yang justru menikmati keuntungan dari pemulihan daya beli karena NTP yang lebih besar dari NTP rata rata petani di Sumut, dan pastinya ada petani yang justru NTP dibawah NTP gabungan di wilayah Sumut," Selasa (16/11/2021). 


Dia menjelaskan, untuk petani perkebunan rakyat contohnya. NTP nya berada di level 153,83 dan jauh diatas angka 100. Padahal semua tahu, petani perkebunan rakyat ini yang paling sejahtera di wilayah Sumut setidaknya hingga bulan Oktober kemarin. Tak hanya itu, semua juga paham kenaikan harga produk perkebunan khususnya kelapa sawit mengalami kenaikan harga yang fantastis.


"Wajar jika petani perkebunan rakyat benar-benar menikmati keuntungan dari lonjakan harga. Daya beli petani perkebunan rakyat memimpin dibandingkan jenis petani lainnya. Hal yang jauh berbeda justru ditunjukan oleh petani hortikultura yang NTPnya berada di level 91.99," jelasnya. 


Holtikultura ini meliputi tanaman sayur-sayuran, buah-buahan dan tanaman obat. Memang di bulan Oktober, harga sejumlah sayur-sayuran itu terpuruk cukup signifikan. Tomat, kentang, wortel, cabai rawit menjadi komoditas yang menyumbang penurunan NTP. Walaupun di bulan November ini sejumlah harga sayur-sayuran tersebut sudah mulai membaik. Terlebih harga cabai merah yang sempat menyentuh 50 ribu per kg di bulan ini.


Dengan demikian bisa disimpulkan kalau NTP tanaman hortikultura ini akan berfluktuasi nantinya. Walau demikian sejauh ini petani tanaman hortikultura yang paling merasakan penurunan daya beli. Bahkan, tanaman hortikultura memiliki siklus pendek, bisa saja petani merubah ke tanaman lain dan yakin siklus penurunan harga jual itu bersifat sementara.


"Ada kalanya nanti petani hortikultura akan menikmati keuntungan tinggi yang  akan tercermin dari kenaikan NTP. Meski begitu, secara keseluruhan upaya untuk mendorong kesejahteraan petani tetap harus ditingkatkan," ujarnya. 


Terlepas jika NTP kerap bergerak di atas 100 atau dibawahnya, seharusnya ada upaya untuk menekan indeks harga yang dibayar oleh petani. Caranya ada beragam. Yakni, menyediakan pupuk bersubsidi yang tepat langsung ke petani, atau menjaga harga pupuk maupun pestisida. Memangkas biaya distribusi, salah satunya  dengan mengamankan jalur distribusi yang kerap dilanda longsor atau bencana lain yang menghambat arus lalu lintas barang dan jasa.


Pembiayaan murah bersubsidi bagi petani atau cara pendampingan lainnya termasuk akses pasar yang langsung yang lebih luas dengan harga yang lebih bersaing. Dan upaya untuk menekan laju tekanan inflasi di pedesaan sehingga konsumsi rumah tangga bisa ditekan. Sehingga petani tidak melulu bergantung kepada harga jual produk pertaniannya. 


"Tetapi memang ada mekanisme yang dilakukan dalam bentuk kebijakan, sehingga petani tidak terlalu mengkuatirkan adanya gejolak harga yang sewaktu waktu bisa merubah daya beli petani kita. Bahkan, keluhan dari petani belakangan ini masih terletak pada kenaikan harga pupuk dan pestisida di waktu-waktu tertentu," ungkapnya. (IK)

Share:
Komentar

Berita Terkini