2 Konflik Ekonomi RI-Uni Eropa di Tengah Kejengkelan Jokowi

REDAKSI
Jumat, 19 November 2021 - 13:09
kali dibaca
Ket Foto : Indonesia memiliki dua konflik ekonomi dengan Uni Eropa yang terkait sawit dan nikel. Ilustrasi. (iStockphoto/jxfzsy).

Mediaapakabar.comPertikaian ekonomi antara Uni Eropa dengan Indonesia terjadi lagi. Kali ini, pertikaian diungkap langsung oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Pertikaian menyangkut kebijakan Indonesia melarang ekspor nikel. Kebijakan itu menimbulkan reaksi dari Uni Eropa.


Mereka menggugat kebijakan Indonesia itu ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Menghadapi langkah itu, Jokowi tak gentar.


Ia mengaku siang menghadapi Uni Eropa dengan cara apapun.


"Jangan tarik-tarik kami ke WTO karena kami setop kirim raw material. Nggak, nggak. Dengan cara apapun akan kami lawan," ungkap Jokowi dengan nada jengkel dalam Kompas CEO Forum, dikutip dari CNNIndonesia.com, Kamis (18/11/2021).


Masalah ini menambah daftar konflik ekonomi antara Uni Eropa dengan Indonesia. Lalu apa saja konflik ekonomi yang pernah terjadi antara Indonesia dan Uni Eropa.


Berikut rinciannya.

1. Uni Eropa gugat RI ke WTO terkait larangan ekspor bijih nikel

Komisi Uni Eropa mengadukan Indonesia ke WTO karena melarang ekspor bijih nikel. Gugatan itu terdaftar dengan sengketa nomor DS592.


Seperti diketahui, pemerintah mulai melarang ekspor bijih nikel pada 2 Januari 2020. Hal ini tercantum dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batu Bara.


Sebelumnya pemerintah mengeluarkan aturan itu, Uni Eropa(UE) telah menyampaikan permohonan kepada Badan Penyelesaian Sengketa (DBS) WTO untuk menggelar agenda konsultasi dengan Indonesia pada 22 November 2019 untuk membahas lima masalah terkait kebijakan itu.


Pertama, larangan dan pembatasan ekspor bijih nikel. Kedua, persyaratan pemurnian dan pengolahan dalam negeri. Ketiga, persyaratan pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Keempat, persyaratan perizinan ekspor. Kelima, skema pemberian subsidi yang dilarang.


Menanggapi hal tersebut, Indonesia telah melakukan konsultasi dengan UE pada 30-31 Januari 2020. Tapi, selanjutnya UE secara resmi meminta pembentukan panel pertama pada 25 Januari 2021 yang disusul dengan pembentukan panel kedua pada 22 Februari 2021.


Kendati demikian, hal yang dipermasalahkan dalam panel tersebut hanya mencakup dua isu (dari semula lima isu) yakni pelarangan ekspor bijih nikel serta persyaratan pemrosesan dalam negeri karena melanggar Pasal XI (1) dari GATT 1994.


Terkait gugat tersebut, Jokowi mengaku mendapatkan banyak pertanyaan dari berbagai negara saat mengikuti forum G20 beberapa waktu lalu terkait larangan ekspor nikel. Namun, Jokowi menjawab pertanyaan dengan tegas bahwa nikel akan tetap diolah di dalam negeri.


2. Kapanye hitam sawit


Pemerintah sempat menyebut Uni Eropa telah melayangkan kampanye hitam atas produk sawit Indonesia. Mulanya, Uni Eropa mengesahkan proposal bertajuk Report on the Proposal for A Directive of the European Parliament and of the Council on the Promotion of the use of Energy from Renewable Sources dalam pemungutan suara di kantor Parlemen Eropa, Perancis, awal Januari 2018 lalu.


Meskipun kebijakan itu telah direvisi dan ditunda hingga 2030, proposal energi tersebut mengatur bahwa negara UE akan menggunakan sedikitnya 35 energi terbarukan dari keseluruhan penggunaan energi pada 2030.


Tak hanya itu, proposal tersebut juga menghapus dan tidak lagi menganggap produk biodisel atau bahan bakar yang berasal dari makhluk hidup dan tanaman, seperti kelapa sawit sebagai sumber energi terbarukan. Dengan begitu, penjualan serta penggunaan produk sawit di Eropa akan semakin terbatas.


Padahal, Eropa selama ini menjadi importir terbesar minyak sawit Indonesia


Teranyar, Uni Eropa mengeluarkan rancangan kebijakan bertajuk 'Delegated Regulation Supplementing Directive of The EU Renewable Energy Direcyive II'. Rancangan tersebut menyebutkan bahwa minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) sebagai komoditas yang tidak berkelanjutan dan berisiko tinggi.


Mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution melihat rancangan ini dikeluarkan hanya untuk menjegal ekspor CPO Indonesia ke Benua Biru, sehingga tidak mengganggu perdagangan minyak nabati lainnya, termasuk rapeseed yang diproduksi oleh negara-negara di kawasan Eropa.


Akibat rancangan kebijakan tersebut, Darmin sampai harus menyambangi Uni Eropa untuk bernegosiasi. Sayangnya, negosiasi tidak menemui titik terang, sehingga Indonesia mau tidak mau harus menempuh jalur hukum perdagangan melalui WTO.


Selanjutnya pada Februari 2021 lalu, pemerintah RI dan Malaysia sepakat untuk melanjutkan kerja sama melawan kampanye hitam sawit yang dilakukan oleh Uni Eropa. Kerja sama itu dibahas saat kunjungan Perdana Menteri (PM) Malaysia Muhyiddin Yassin ke Indonesia pada hari ini, Jumat (5/2).


Dalam kesempatan itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan perlawanan terhadap kampanye hitam sawit akan lebih optimal jika dilakukan bersama oleh kedua negara. Seperti diketahui, Indonesia dan Malaysia merupakan penghasil utama sawit di dunia.


"Indonesia akan terus berjuang untuk melawan diskriminasi terhadap sawit dan perjuangan tersebut akan lebih optimal jika dilakukan bersama, dan Indonesia mengharapkan komitmen yang sama dengan Malaysia mengenai isu sawit ini," terang Jokowi. (CNNI/MC)

Share:
Komentar

Berita Terkini