Mediaapakabar.com - Pengamat Perburuhan dan Perselisihan Hubungan Industrial (PHI), Gindo Nadapdap, SH MH menilai pasca Omnibus Law pergerakan serikat pekerja/buruh mulai 'melemah', dimana teman-teman serikat pekerja/buruh merasa 'gagal' karena UU Omnibus Law atau Cipta Kerja telah disahkan oleh pemerintah.
Hal itu disampaikan Gindo saat acara peringatan May Day di Sekretariat Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Serikat Buruh Merdeka Indonesia (SBMI) Jalan Mangaan, Gang Inpres, Mabar, Kecamatan Medan Deli, Kota Medan, Sabtu (01/5/2021).
"Kenapa UU Omnibus Law ini menjadi persoalan, karena ada beberapa persoalan yang sangat krusial dalam UU Omnibus Law, dan saya pikir ini harus menjadi catatan teman-teman salah satunya dalam membuat Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Yang pertama adalah perusahaan outsourcing yang telah diubah namanya menjadi perusahaan alih daya," kata Gindo.
Dulu, sambung Gindo, perusahaan tersebut hanya bisa memperkerjakan 4 jenis pekerjaan yakni Security, Cleaning Service, Catering dan Sopir antar jemput (transportasi) karyawan.
"Dengan adanya Omnibus Law, perusahan tersebut sekarang bisa mempekerjakan disegala status pekerja baik PKWT, PKWTT maupun para pekerja harian lepas. Tanggung jawab dan resiko tuntutan pekerja tidak lagi menjadi tanggung jawab pemilik perusahaan, tetapi menjadi tanggung jawab perusahaan alih daya," kata Gindo.
Lanjut dikatakan Ketua Dewan Pertimbangan Organisasi (DPO) SBMI ini, karena apabila ada putus kontrak di kemudian hari, status pekerja PKWT dengan perusahaan alih daya ini, pekerja tidak lagi bisa menuntut sisa kontrak. Kalau dalam UU No 13 Tentang Ketenagakerjaan, jika pekerja dipecat sebelum habis kontrak, berarti perusahaan di posisi yang salah, maka perusahaan harus membayar sisa kontrak pekerja tersebut.
"Sementara dalam UU Omnibus Law, perusahaan hanya membayar maksimum 1 bulan gaji. Inilah salah satu pasal ketentuan yang harus menjadi perhatian kita dalam membuat Perjanjian Kerja Bersama (PKB)," katanya.
Menurut pengacara kondang di Kota Medan ini, agar membuat PKB yang berimbang di tingkat perusahaan, para pengurus serikat buruh di tingkat perusahaan harus mengevaluasi kembali PKB yang berlaku di perusahaan sekarang.
"Agar apa yang kita khawatirkan dalam UU Omnibus Law ini, tidak terdampak terhadap para pekerja/buruh," sebut Gindo.
Pengurangan Nilai Pesangon
Gindo mengatakan dalam UU Nomor 13 Tentang Ketenagakerjaan terjadi PHK sepihak, PHK sepihak artinya PHK dilakukan tanpa kesalahan yang jelas dari pekerja. Maka perusahan diwajibkan untuk membayar dan sering dihukum untuk membayar 2 kali ketentuan (pesangon).
"Namun, dalam UU Omnibus Law, nyaris kita tidak mendengar lagi dua kali ketentuan pembayaran pesangon, maksimum pada umumnya 1 kali ketentuan. Untuk 2 kali ketentuan hanya dalam hal pekerja meninggal dunia," ujar Gindo.
Artinya, sambung Dosen Hukum yang mengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Graha Kirana ini, pengusaha semangkin mudah untuk melakukan PHK.
"Bagaimana cara menyiasatinya?. Nah kembali saya ingatkan kepada pengurus serikat pekerja/buruh di tingkat perusahaan untuk melakukan evaluasi pembahasan dengan perusahaan agar menghindari PHK itu tidak semangkin mudah," ujarnya.
Gindo mengatakan masih banyak lagi sebenarnya aturan-aturan di dalam UU Omnibus Law yang kemudian ditindaklanjuti dalam tiga PP yakni PP Nomor 35 tentang perjanjian kerja dan PHK, PP Nomor 36 tentang Upah dan PP Nomor 37 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan.
"Saya menyarankan pimpinan-pimpinan SBMI di tingkat perusahaan agar mempelajari UU Omnibus Law atau Cipta Kerja, lalu PP Nomor 35, PP Nomor 36 Dan PP Nomor 37," ujarnya sembari mengucapkan selamat hari buruh Internasional. (MC/DAF)