Ket Foto : Saksi ahli pakar hukum Kriminologi Unika, Prof. Dr. Maidin Gultom yang dihadirkan dalam persidangan di ruang Cakra 3 Pengadilan Negeri Medan. |
Mediaapakabar.com - Sidang kasus dugaan penganiayaan dalam bentrokan antar ormas dengan dua terdakwa Sunardi alias Gundok (44) dan Syafwan Habibi (36) kembali digelar di ruang cakra 3 Pengadilan Negeri Medan, Kamis (04/2/2021).
Dalam sidang beragendakan keterangan saksi yang digelar secara virtual tersebut, saksi ahli yang merupakan pakar hukum Kriminologi Unika, Prof. Dr. Maidin Gultom yang dihadirkan dalam persidangan menjelaskan, ada kesilapan penegak hukum dalam proses hukum perkara tersebut.
Pasalnya menurut Profesor Maidin, dalam asas nebis de in idem pada proses peradilan, setiap orang tidak bisa diadili atas dua dakwaan dalam satu peristiwa yakni Tempus dan Locus nya sama.
"Setiap orang tidak bisa diadili dua kali dalam satu peristiwa kejadian dan tempat yang sama karena suatu perkara pidana yang telah diputuskan oleh hakim tidak dapat diperiksa dan disidangkan kembali untuk yang kedua kalinya," sebutnya.
Penjelasan tersebut sempat menjadi pembahasan antara majelis hakim dengan saksi ahli. Majelis mempertanyakan, apakah seorang yang dipidana atas kasus kejahatan yang dialami korban bisa diadili lagi atas korban lain dalam kasus yang sama.
"Kalau suatu tindak pidana diadili berdasarkan korbannya, bagaimana pula contohnya kasus terorisme bom bali? Ada ratusan bahkan ribuan korban, tak pernah selesai kasus itu diadili kalau barometernya soal korban," ketus Profesor Maidin mencontohkan substansi penjelasannya sebagai saksi ahli.
Usai mendengar keterangan saksi ahli, majelis hakim diketuai Abdul Kadir kemudian menunda persidangan untuk dilanjutkan kembali pekan depan.
Sementara itu di luar persidangan, Penasihat Hukum kedua terdakwa dari LBH IPK Sumut, Dwi Ngai Sinaga SH MH mengatakan kalau kita mengacu dari fakta persidangan apabila tidak ada Fakta baru dalam persidangan bahkan saksi-saksinya yang sudah pernah disidangkan, dan keterangan ahli dan juga bukti bukti. Kami menilai ini kasus nebis de in idem, maka terdakwa harus dibebaskan.
"Karena begini, jangan gara-gara kesalahan JPU klien kita jadi korban. Ini Kasus Tempus dan Locus nya sama seperti yang dijelaskan saksi Ahli. Jangan sampai melanggar Azas, ini nebis karena kasus ini sudah pernah disidangkan.
Dirinya menegaskan agar perlu dipahami, dalam kasus ini 7 terdakwa telah disidangkan lima diantaranya divonis 6 tahun, dan 2 lagi yakni klien kita yang sebelumnya telah divonis 9 bulan.
"Jangan pernah dianggap klien kita belum pernah disidangkan. Klien kita sudah pernah disidangkan dalam kasus yang sama. Jadi cara berpikir JPU itu seolah olah klien kita DPO tidak pernah disidangkan, itu udah beda, ini harus di pahami, jangan sampai 'memplesetkan fakta'. Kecuali tadi klien kita DPO baru boleh disidangkan," tegas Dwi Dwi Ngai Sinaga SH MH.
Hal senada juga dikatakan Erwin San Sinaga SH, kalau mereka mengatakan pada dasarnya makanya disidangkan, itu sudah tidak benar. Karena pidana tidak mengenal pengalihan pertanggungjawaban pidana.
"Jadi kalau masalah DPO ini belum dapat ya tangkap, habis itu disidangkan. Kalau itu baru bukan nebis. Sesuai yang disampaikan Ahli, bahwa tujuan splitsing itu adalah menguji peran para terdakwa masing-masing," ucapnya.
Nah, sambung Erwin, berarti itu yang diterapkan mereka (JPU-red) dan mengamini bahwa ke 7 para terdakwa sebelumnya itu memiliki peran yang berbeda-beda dalam peristiwa yang sama.
"Yakni ada yang melakukan pemukulan dan melakukan luka luka. Berarti splitsing yang mereka buat telah tercapai. Jadi jangan mereka sidangkan kasus yang sama disidangkan lagi, ini asas nebis namanya, dan klien kita harus dibebaskan," tegasnya.
Mengutip dakwaan JPU Ramboo Sinurat kasus ini bermula pada Minggu, 8 September 2019, sekitar pukul 16.30 WIB, setelah kegiatan Rapat Pemilihan Pengurus Pemuda Pancasila Anak Ranting Pangkalan Mansyur di Kantor Kelurahan Pangkalan Mansyur.
Korban Syahdilla bersama beberapa temannya dari ormas PP saat itu disebut pergi menuju warung di Jalan Eka Rasmi untuk bersilaturahmi dengan ormas IPK. Mereka juga hendak menanyakan soal spanduk milik ormas PP yang dicopot oleh ormas IPK.
Namun malah terjadi cekcok dan berujung bentrokan yang mengakibatkan korban Syahdilla Hasan Afandi meninggal dunia. (DAF)