Sepanjang Tahun 2020, UU Corona hingga Omnibus Law Paling Banyak Digugat ke MK

REDAKSI
Kamis, 21 Januari 2021 - 13:25
kali dibaca

Ket Foto : Suasana jalannya sidang lanjutan uji materi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia di ruang sidang pleno Gedung Mahkamah Konstitusi. (Antara)

Mediaapakabar.com
Berdasarkan catatan MK, UU tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi COVID-19 alias UU Corona yang disahkan pada Mei 2020 menjadi salah satu UU yang paling banyak digugat. 

Begitu pula dengan UU Omnibus Law Cipta Kerja yang disahkan pada awal Oktober 2020 paling banyak digugat.


Ketua Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman menyatakan sepanjang 2020 telah menerima 109 gugatan pengujian UU. Dari 109 perkara itu, terdapat 61 UU yang digugat.  


"Selama kurun waktu tahun 2020, Mahkamah menguji sebanyak 61 UU. Jumlah ini lebih banyak dibandingkan dengan tahun 2019, yang hanya sebanyak 56 UU," ujar Anwar dalam sidang pleno khusus laporan tahunan 2020 secara virtual dilansir dari kumparan.com, Kamis (21/1/2021. 


Dari 61 UU tersebut, terdapat 6 UU yang paling banyak digugat, termasuk UU Corona dan Omnibus Law UU Cipta Kerja. Berikut daftarnya: 


UU Corona: 9 kali. 

Omnibus Law UU Cipta Kerja: 8 kali. 

UU Pilkada: 6 kali. 

UU MK, UU Pemilu, dan UU Minerba: 5 kali. 


Adapun sepanjang 2020, MK menangani sebanyak 139 perkara pengujian UU.  

"Rinciannya 109 perkara diregistrasi pada 2020 ditambah 30 perkara yang belum selesai akhir tahun 2019," kata Anwar.  


Anwar menyebut, 109 perkara yang teregistrasi pada 2020 lebih tinggi dibanding 2019 sebanyak 85 yang tercatat di Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK).  


Dari 139 perkara yang ditangani sepanjang 2020, MK telah memutus sebanyak 89 perkara atau 64,02%. Artinya MK masih memiliki tunggakan sebanyak 50 perkara atau 35,89%. 


Kendati demikian, rata-rata penyelesaian perkara di MK pada 2020 lebih cepat ketimbang tahun sebelumnya. Pada 2020, rata-rata satu perkara tuntas selama selama 82 hari kerja atau setara 3,9 bulan. 


"Pada 2019, Mahkamah membutuhkan waktu 93 hari kerja atau setara 4,4 bulan per perkara. Catatan itu menunjukkan kinerja Mahkamah yang semakin meningkat," tutupnya. (KC/MC)

Share:
Komentar

Berita Terkini