Soal Pemberhentian Kepala Daerah Jika Tak Becus Jalani Protokol Kesehatan, HNW: ‘Mendagri Jangan Semena-mena

armen
Sabtu, 21 November 2020 - 17:10
kali dibaca




Mediaapakabar.com
-Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid turut menanggapi dikeluarkannya inturuksi Menteri dalam Negeri (Mendagri) No. 6 Tahun 2020.

Dalam aturan tersebut, Mendagri memberikan ancaman pemberhentian kepala daerah yang tak becus menjalankan tugas menerapkan protokol kesehatan.

Pria akrab dipanggil HNW ini menilai bahwa aturan Mendagri yang dipimpin Tito Karnavian itu sangat tendensius dan bermuatan politis.

Aturan tersebut dikeluarkan setelah serangkaian acara kegiatan yang dilakukan oleh Imam Besar Forum Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab.

Demikian disampaikan politisi senior Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu dalam keterangannya diterima Pojoksatu.id di Jakarta, Jumat (20/11/2020).

“Timing keluarnya itu momentum kerumunan massa terkait Habib Rizieq Shihab atau juga Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, kuat adanya tendensi politik dan tak sekedar teguran soal kerumunan massa dengan ketaatan melaksanakan prokes terkait covid-19,” jelasnya.

HNW mengatakan bahwa instruksi Mendagri tersebut yang tidak memenuhi rasa keadilan ditambahi dengan ancaman yang tendensius.

Menurutnha hal tersebut tak sesuai preseden dinilai menghidupkan praktek otoritarianisme dan mencoreng prinsip kedaulatan rakyat dan Indonesia sebagai negara hukum yang menjunjung keadilan.

“Kemacetan kepala daerah melalui Instruksi Menteri, tak sesuai dengan ketentuan dasar dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 yang dinyatakan bahwa kedaulatan di tangan rakyat,” jelasnya.

HNW mengatakan bahwa instruksi Mendagri tersebut yang tidak memenuhi rasa keadilan ditambahi dengan ancaman yang tendensius.

Menurutnha hal tersebut tak sesuai preseden dinilai menghidupkan praktek otoritarianisme dan mencoreng prinsip kedaulatan rakyat dan Indonesia sebagai negara hukum yang menjunjung keadilan.

“Kemacetan kepala daerah melalui Instruksi Menteri, tak sesuai dengan ketentuan dasar dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 yang dinyatakan bahwa kedaulatan di tangan rakyat,” jelasnya.

“Hal ini berimplikasi kepada hak rakyat yang secara langsung memilih pemimpinnya, baik presiden maupun kepala daerah (gubernur dan / atau walikota / bupati),” lanjutnya.

Ia mengatakan bahwa Mendagri tak bisa semena-mena memberhentikan kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan.

Sebab, UU Pemerintah Daerah (UU Pemda) mengatur mengenai pemberhentian kepala daerah, tetapi prosesnya tidak bisa dilakukan secara semena-mena.

Ia menyebutkan proses pemberhentian harus dilakukan dengan alasan yang jelas sesuai ketentuan tersebut.

“Menteri Dalam Negeri tidak bisa begitu saja melakukan ancaman pemberhentian kepala daerah. Ini bukan di era orde baru. Sekarang Kepala Daerah, termasuk Gubernur DKI, dipilih langsung oleh rakyat,” ujarnya.

HNW mengingatkan bahwa beberapa pasal dalam UU Pemda yang menjadi rujukan Instruksi Mendagri tersebut juga memberi persyaratan yang sangat ketat.

Instruksi Menteri itu menjadi tendensius, karena tak utuh merujuk kepada ayat-ayat UU Pemda secara komprehensif.

Misalnya, seperti soal pemberhentian kepala daerah karena melanggar sumpah/janji jabatan dan tidak melaksanakan kewajiban mentaati seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan, sebagaimana yang ditekankan dalam Instruksi Mendagri tersebut.

“Pemberhentian kepala daerah dengan dua alasan itu harus melewati proses di DPRD dan harus melalui putusan Mahkamah Agung. Syaratnya sangat ketat dan sesuai dengan prinsip negara hukum yang dijamin oleh Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945. Dan syarat itu hampir sama seperti bila melakukan impeachment Presiden,” tandasny HNW

Sumber :pojoksatu.id
Share:
Komentar

Berita Terkini