Pemerintah Berkewajiban Menata Ulang Praktek Penegakan Hukum Narkotika

armen
Sabtu, 31 Oktober 2020 - 10:36
kali dibaca



Oleh: DR Anang Iskandar S.H., M.H (Penulis Buku Politik Hukum Narkotika)

Mediaapakabar.com
-Kontroversi praktek penegakan hukum terhadap penyalah guna narkotika, ditahan atau ditempatkan kedalam lembaga rehabilitasi dan dijatuhi sanksi penjara atau sanksi menjalani rehabilitasi.

Kontroversi tersebut terjadi sejak berlakunya UU Narkotika no 35 tahun 2009,  berkepanjangan dan berlarut-larut sampai hari ini.

Akibatnya, pemerintah mengalami kerugian dan Indonesia mengalami darurat narkotika, yang ditandai dengan:

Pertama, banyaknya masyarakat yang menjadi penyalah guna narkotika bahkan sekarang ini tidak ada desa yang bersih dari penyalahgunaan narkotika.

Kedua, terjadinya lapas over kapasitas berkepanjangan. Kondisi demikian adalah bentuk anomali lapas Indonesia. Artinya, ini sebuah keanehan hunian lapas yang terjadi di dunia.

Ketiga, terjadinya residivisme atau pengulangan perbuatan walaupun sudah pernah dilakukan dan dihukum, Karena perkara yang sama, bahkan banyak yang tiga atau empat kali keluar masuk penjara.

Kontroversi terjadi akibat aparat penegak hukum yang mengawaki tidak memahami UU narkotika.

Yang upaya paksa dan bentuk hukumannya, bersifat rehabilitatif terhadap penyalah guna dan represif terhadap pengedar sesuai tujuan dibuatnya UU narkotika.

Kontroversi tersebut diperparah dengan adanya kenyataan, bahwa hukum narkotika tidak dipelajari sebagai mata kuliah di fakultas hukum di seluruh Indonesia. Padahal, masalah narkotika mendominasi masalah hukum di indonesia.

Itu sebabnya, terjadi kontroversi atas dasar pemahaman individual dan pemahaman sektoral dalam penanggulangan masalah narkotika di Indonesia.

Bagi penegak hukum yang berlatar belakang pendidikan hukum pidana. Maka, hukuman yang cocok bagi penyalah guna narkotika adalah hukuman penjara, dengan justice for all- nya.

Bagi, penegak hukum yang memahami UU narkotika yang bersifat rehabilitatif terhadap penyalah guna dan bersifat represif terhadap pengedar, maka hukuman yang cocok bagi penyalah guna narkotika adalah menjalani rehabilitasi. Tentunya, dengan justice for health nya dan penjara hanya relevan bagi pengedar.

Kontroversi berkepanjangan tersebut merugikan keuangan negara, sia-sia memenjarakan penyalah guna karena menghasilkan masalah baru, masalah narkotika bukan tambah surut melainkan tambah besar.

Di samping itu, penyalah guna narkotika kehilangan hak untuk sembuh dan pulih dari sakit adiksi ketergantungan narkotika, malah jadi residivis.

Kontroversi mestinya tidak perlu terjadi karena UU Narkotika no 35 tahun 2009, basic-nya adalah pendekatan kesehatan dan hukum pidana sehingga mengatur secara “khusus” rehabilitasi sebagai bentuk hukuman pidana.

Hakim diberi kewenangan dapat menjatuhkan hukuman rehabilitasi baik terbukti salah maupun tidak terbukti salah (pasal 103).

Kalau kita memperhatikan tujuan UU narkotika, yaitu menjamin penyalah guna mendapatkan upaya rehabilitasi (pasal 4d).

Maka, kewenangan hakim “dapat” menjatuhkan hukuman rehabilitasi baik terbukti salah atau tidak terbukti bersalah (103) menjadi sebuah kewajiban bagi hakim.

Kewenangan pasal 103 tersebut, berarti hakim tidak punya pilihan selain menjatuhkan hukuman rehabilitasi. Sayangnya, kewenangan ini diabaikan oleh hakim.

Padahal,  pasal 127/2  UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika mewajibkan hakim yang memeriksa perkara penyalah gunaan narkotika untuk memperhatikan pasal 54, 55 dan 103.

Aparat  Tidak Memahami UU  Narkotika

Saya sering mendapat pertanyaan dari aparat penegak hukum narkotika, kenapa seorang kriminal (penyalah guna) kok dihukum rehabilitasi?  Menurut dia lebih baik dipenjara biar jera, dan ada efek jeranya juga.

Di lain fihak ada juga yang memberikan pernyataan, bahwa penyalah guna dihukum rehabilitasi. Apa tidak salah? Jangan-jangan ke depan banyak yang jadi penyalah guna karena hukumannya cuma direhabilitasi.

Ada juga yang bertanya, apa rehabilitasi itu sama dengan hukuman penjara ?

Pertanyaan tersebut mencermin ketidakfaham aparat penegak hukum akan  UU narkotika yang mengatur tentang rehabilitasi.

Sebagai proses mencegah agar tidak mengulangi perbuatannya, rehabilitasi sebagai proses penyembuhan dan pemulihan serta rehabilitasi bentuk hukuman bagi penyalah guna narkotika agar tidak mengulangi perbuatannya.

Rehabilitasi itu “kunci inggris”, multi fungsi, bisa digunakan untuk menanggulangi masalah penyalahgunaan dan  peredaran narkotika gelap narkotika, dalam arti membuat dagangan para pengedar tidak laku sehingga pengedarnya bankrut.

Sedangkan penjara itu kunci pas, hanya untuk menanggulangi peredaran gelap narkotika dengan sasaran para pengedar, agar jera dan untuk memutus jaringan peredaran gelapnya.

Model penegakan hukum selama ini, penyalah guna narkotika diperlakukan seperti pengedar, dilakukan upaya paksa penahanan dan dihukum penjara.

Model tersebut tidak hanya sia sia tetapi juga menghambur hamburkan keuangan negara. Bayangkan untuk biaya makan saja, 1,8 T tiap tahun, belum biaya penegakan hukum dan pembangunan sumberdayanya bisa 10 kali lipat biaya makan tahanan.

Model memenjarakan penyalah guna narkotika, sangat menguras enerji pemerintah, termasuk biaya yang sangat besar. Tetapi, hasilnya justru tidak sesuai tujuan, terjadi residivisme penyalahgunaan narkotika dan meningkatnya jumlah penyalah guna penderita sakit ketergantungan narkotika.

Di samping itu memenjarakan penyalah guna narkotika juga bertentangan dengan  UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika, yang tujuannya menjamin penyalah guna dan pecandu, mendapatkan upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Menata Ulang Praktek Penegakan Hukum

Pemerintah harus menata ulang praktek salah kaprah proses penegakan hukum. Kalau tidak pemerintah akan menghasilkan generasi residivis atau generasi sakit kecanduan narkotika yang merupakan akar permasalahan narkotika di Indonesia.

Model penegakan hukum terhadap penyalah guna yang tujuannya memenjarakan, membuat penegak hukum semangat dan sibuk tetapi tidak sesuai tujuan, bahkan menurut Shapiro seorang peneliti masalah narkotika berpendapat bahwa memenjarakan penyalah guna sama dengan menghambur hamburkan anggaran dan sumberdaya penegakan hukum.

Oleh karena itu pemerintah perlu menata ulang model penegakan hukum narkotika agar sesuai dengan tujuan UU narkotika, point-point yang perlu ditata:

1. Penegak hukum wajib mengacu pada tujuan UU narkotika. Penyidikan dan penuntutan terhadap perkara penyalah guna narkotika tidak dilakukan secara subsidiaritas dengan perkara pengedar.

2. Penyalah guna narkotika untuk diri sendiri hanya diatur dalam satu pasal secara khusus yaitu pasal  127 ayat 1.

3. Atas dasar pasal 4 d  UU narkotika,  penegak hukum mulai dari penyidik, penuntut umum dan hakim dalam memeriksa penyalah guna berkewajiban menempatkan penyalah guna kedalam lembaga rehabilitasi milik pemerintah selama proses pemeriksaan pada semua tingkatan untuk mendapatkan penyembuhan dan pemulihan (pasal 13 PP 25 tahun 2011).

4. Dalam memeriksa perkara penyalah guna (127/2) hakim berwajiban menggunakan kewenangan pasal 103. Yaitu, kewenangan dapat menjatuhkan hukuman rehabilitasi baik terbukti salah  maupun tidak terbukti salah.

5.Tempat menjalani hukuman rehabilitasi adalah rumah sakit atau lembaga rehabilitasi milik pemerintah yang ditunjuk oleh Menkes (pasal 56) yang tersebar diseluruh Indonesia.

Saran saya kepada pemerintah, agar membuat Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden tentang penyidikan dan penuntutan terhadap perkara penyalahgunaan narkotika.

Dan, Ketua Mahkamah Agung membuat petunjuk implementasi justice for health bagi penyalah guna narkotika.

Semoga tujuan UU narkotika dapat terwujud. Yang menyatakan mencegah, melindungi, menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalah gunaan narkotika.

Juga UU narkotika bisa menjamin penyalah guna dan pecandu mendapatkan upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial serta memberantas peredarannya.

Aamiin.

Sumber :Matranews.id
Share:
Komentar

Berita Terkini