Rasa takut ataupun khawatir dari mereka yang berkecimpung di dunia publikasi informasi yang dimaksud ialah, ketika sebuah tulisan atau dokumentasi audio-visual, menjadi dasar bagi oknum-oknum tertentu, untuk membredel, mengkriminalisasi atau bahkan melakukan tindakan ekstrim seperti penganiayan bahkan pembunuhan fisik serta karakter terhadap insan jurnalistik.
Pembredelan, kriminalisasi sampai dengan penghilangan nyawa secara paksa itu, tentu mencederai nilai-nilai demokrasi yang sejatinya wajib terbebas dari hal-hal tersebut. Dengan kata lain, tidak akan berjalan baik demokrasi suatu negara, jika kebebasan pers tidak dijamin seutuhnya oleh semua pihak.
Hal ini, adalah pesan yang tersirat dari apa yang disampaikan oleh salah satu anggota Dewan Pers, Ahmad Djauhar, ketika memberikan materinya dalam acara workshop, yang diselenggarakan oleh Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Sumatera Utara, di Gedung Bina Graha Provinsi Sumatera Utara, pada Rabu 16 September 2020 kemarin.
Penyelesaian Sengketa Pers.
Dalam pemaparannya, Ahmad Djauhar, mengambil contoh perkara hukum yang menjerat salah satu insan jurnalistik di Kalimantan Tengah, atas nama Diananta (Banjarhits.id/Kumparan), yang dipidanakan atas sebuah pemberitaan berkaitan dengan sengketa lahan di wilayah peliputannya. Dalam kasus itu, Diananta dianggap telah menyebarkan ujian kebencian terkait SARA, dan dijerat dengan Pasal 28 UU ITE.
Sebagai catatan penting, Dewan Pers, sebelumnya telah mengeluarkan lembar Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi (PPR) yang berisi, redaksi kumparan.com menjadi penanggung jawab atas berita yang dimuat tersebut, bukan banjarhits.id yang menjadi mitra kumparan
"Kemarin ada perkara pers yang telah kita keluarkan PPR-nya. Itu kasus Diananta, wartawan Banjarhits.id dan Kumparan di Kalteng, isi PPR tersebut adalah fakta bahwa persengketaan yang terjadi murni sengketa produk pers, dan penyelesaiannya, melalui Dewan Pers. Jadi semestinya, penegak hukum harus melihat dan menghargai fakta itu, dengan kata lain, penyelesaiannya bukan melalui persidangan," kata pria yang saat ini menjabat sebagai Ketua Komisi Penelitian, Pendataan & Ratifikasi Pers Dewan Pers Periode 2019 - 2022, itu.
"Kepada seluruh pihak yang bersengketa terkait produk pers, hendaknya menyelesaikan perkaranya itu, melalui UU pers dan Aturan Dewan Pers, jangan langsung main pidana atau gugatan perdata, ini tentu akan mencederai demokrasi kita yang telah dibangun dengan baik selama ini. Bisa dengan menggunakan hak jawab, atau mengadukan persengketaan tersebut ke Dewan Pers untuk diselesaikan, jadi simpelnya begini, balaslah kata-kata dengan kata-kata," ucapnya.
Terkait dengan persengketaan produk pers atau dengan kata lain pemberitaan, Ahmad Djauhar, meminta semua pihak termasuk Eksekutif, Legislatif, Yudikatif, para pemangku kebijakan serta pegiat pers itu sendiri, untuk mematuhi amanat Undang-undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 dan aturan Dewan Pers. Dimana penyelesaian setiap perkara yang ada tetap melalui mekanisme yang telah termaktub di dalam produk hukum tersebut.
"Kepada seluruh pihak yang bersengketa terkait produk pers, hendaknya menyelesaikan perkaranya itu, melalui UU pers dan Aturan Dewan Pers, jangan langsung main pidana atau gugatan perdata, ini tentu akan mencederai demokrasi kita yang telah dibangun dengan baik selama ini. Bisa dengan menggunakan hak jawab, atau mengadukan persengketaan tersebut ke Dewan Pers untuk diselesaikan, jadi simpelnya begini, balaslah kata-kata dengan kata-kata," ucapnya.
Masih Ahmad Djauhar, ia melanjutkan, setiap peristiwa yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa pers, akan mengundang tanggapan dari dunia internasional, bukan hanya terkait kasus hukum atau upaya kriminalisasi saja, namun juga jika adanya tindak kekerasan yang dialami oleh seorang jurnalis. Hal itu dapat mengurangi rasa kepercayaan dunia atas demokrasi dari negara yang bersangkutan. Artinya, kepercayaan masyarakat dunia akan menurun apabila kebebasan pers sudah terbelenggu.
Sumber :Dyaksa.id