Semangat Merdeka Mengajar Guru Pinggir Kota

armen
Kamis, 27 Agustus 2020 - 18:59
kali dibaca

Hotdiana Nababan, M.Pd.Guru SMK N 2 Rantauutara, Labuhan Batu.

Mediaapakabar.com- Pembelajaran jarak jauh pandemi ini mendesak. Mendesak karena siswa harus belajar dari rumah untuk memutuskan mata  rantai Covid-19. Mendesak karena keterbatasan fasilitas. Mendesak karena orang tua mendadak darah tinggi. Mendesak karena guru pun jadi gagap dan terbata-bata. 

Sesuai Surat Edaran Mendikbud No 4 tahun 2020, khususnya kutipan nomor 2 menjabarkan  ketentuan belajar dari rumah sebagai berikut : a. Harus memberikan pengalaman belajar yang bermakna meski capaian kurikulum kurang maksimal;  b. Difokuskan pada pendidikan kecakapan hidup antara lain mengenai pandemi Covid-19; c. Aktivitas dan tugas dapat bervariasi antarsiswa, sesuai minat dan kondisi masing-masing, termasuk mempertimbangkan kesenjangan akses/ fasilitas belajar di rumah; d. Bukti atau produk aktivitas bersifat kualitatif dan berguna dari gur, tanpa diharuskan memberi skor/ nilai kuantitatif.

Bagaimana sekolah, orang tua, siswa dan guru menerjemakan ini di tengah kompleksnya permasalahan pjj pandemi ini ? Pihak sekolah menekankan kepada guru bahwa siswa harus tetap sehat dan tetap belajar meski capaian kurikulum kurang maksimal. Memfasilitasi guru untuk memberdayakan media pembelajaran yang ada sesuai kondisi siswa dan tentunya adanya bantuan paket bagi guru dan siswa.

 Lalu bagaimana kondisi orang tua siswa khususnya di daerah selama pjj ini diberlakukan ? Secara geografis berada di pinggir kota, pedesaan dan perkebunan yang barang tentu pekerjaan mereka adalah pedagang, petani dan buruh kebun yang otomatis tidak memungkinkan bekerja dari rumah. Dari segi pendidikan menengah ke bawah, tidak mengerti untuk membantu siswa belajar di rumah.  Mereka biasanya sungkan dan malu bila menjawab telepon guru. Bahkan ada juga orang tua yang tidak tahu atau peduli apakah anaknya belajar atau tidak selama pjj ini.  

Dari segi ekonomi juga ada orang tua yang tidak punya laptop atau android. Bila ada pun harus berbagi untuk tiga atau empat anak sehingga harus dijadwal supaya tidak bertengkar, si adik pagi, si tengah siang hari dan si kakak di sore hari. Ada juga  yang memakai milik kakak dan abangnya yang bekerja di luar rumah sehingga mereka hanya diperbolehkan meminjamnya di malam hari. Bahkan saat-saat genting seperti jadwal ujian kemarin justru guru pun menyarankan untuk pinjam tetangga. Belum lagi harus menunggu gajian baru bisa beli paket internet.

 Lalu bagaimana dengan kondisi siswa sendiri? Mereka bekerja membantu orang tua sampai sore hari sehingga menyurutkan semangat untuk belajar di malam harinya. Jaringan atau sinyal biasanya juga lebih bersahabat di malam hari sehingga interaksi sesama mereka pun terjadi malam hari. Belum lagi kurangnya pengawasan , “ Kulihat dia megang hape sama bukunya Bu tiap pagi”, jawab orang tua saat ditelepon oleh wali kelasnya. Bahkan siswa juga kurang motivasi bahwa mereka harus beradapatasi dengan yang namanya on line. 

Sebelum pandemi pun semuanya serba on line, dikit-dikit on line, ujian on line, SMPTN on line, CPNS on line, melamar pekerjaan on line bahkan untuk beli pena pun sekarang sudah on line. Apalagilah pandemi yang mengharuskan kita harus di rumah dan tidak bisa ke luar bukankah seharusnya kita mulai membiasakan diri untuk on line.

 Apa yang dapat dilakukan guru? Tetap bangun komunikasi dengan orang tua. Sulit tapi ini saat yang tepat bahwa pendidik utama itu adalah orang tua. Guru harus terus berkomunikasi, mengajak dan menyemangati orang tua untuk terlibat dalam pjj pandemi ini.
    
Tetap bangun interaksi dengan siswa. Wag adalah kelas mereka. Jangan dikunci dan komunikasi satu arah, siswa hanya menerima informasi saja. Biarkan mereka saling berinteraksi di kelas. Mungkin ada siswa yang mengirim gambar tidak senonoh di grup. Mungkin mereka bicara tidak sopan tetapi justru di situ guru hadir untuk memberi pendidikan karakter. Sama halnya ketika siswa ada di dalam kelas, mereka pasti ribut, saling bertengkar, bercanda, dll tapi mengapa guru bisa menertibkan mereka. Bukankah seharusnya di wag pun guru dapat menertibkan itu.
    
Guru tidak hanya mengajar 24 jam kepentingan sertifikasi tetapi 1 x 24 jam selama pandemi ini. Guru harus fleksibel. Ketika siswa hanya bisa punya hape di malam hari atau ketika sinyal bersahabat di malam hari maka kita pun ikut ngobrol dalam chatingan mereka meski pada jam yang sama ibu guru pun harus menidurkan anaknya di rumah.
    
Tetap beri pembelajaran kecakapan hidup. Misalnya saja kelas X, belajar teks observasi, tugas yang dapat diberikan adalah mengobservasi diri sendiri terlebih dahulu. Apa kelebihan mereka yang kelak bisa dikembangkan dan dapat menjadi mata pencaharian. Maka terciptalah video satu menit perkenalan diri mereka dengan menunjukkan bakat  masing-masing. Ini baik untuk siswa kelas X ketika guru belum kenal wajah sama sekali terhadap siswa baru dan tentunya video satu menit perkenalan ini harus dicontohkan oleh gurunya terlebih dahulu.
    
Untuk kelas XI, mintalah mereka membuat video teks prosedur yang dekat dengan dunia mereka. Dunia yang nyaman dan mudah mereka lakukan. Misalnya untuk anak otomotif, bagaimana cara membuka ban mobil. Kemudian meminta mereka untuk mengunggahnya ke Youtube. Selain melatih mereka percaya diri, bukankah ilmu harus dikomunikasikan ke dunia luar. Lagi pula biarlah konten-konten negatif  di Youtube itu tenggelam dengan konten-konten positif dari siswa dan guru Indonesia.
   
 Untuk kelas XII, setelah mereka mengenal bagian-bagian surat lamaran pekerjaan dan dapat menuliskannya dengan benar, maka mintalah mereka mengirimnya lewat email. Bukankah sudah tidak masanya mereka membawa map lamaran kerja mengetuk satu pintu kantor ke kantor lainnya. Tetapi surat lamaran sekarang harus dikirm on line. Sekaligus juga akhirnya memaksa mereka mempersiapkan diri mencari kerja dengan belajar mengubah tulisan kertas lamaran kerja dalam bentuk jpg atau pdf .
    
Tetap belajar membuat media pembelajaran hemat paket. Bila harus menonton Youtube, bantulah siswa bagaimana menontonnya tanpa paket dengan mengunduhnya meski tidak dengan aplikasi. Buatlah video pembelajaran 2-3 menit saja. 

Buatlah video pembelajaran karya bapak-ibu guru sendiri. Sesederhana apapun video yang bisa kita buat itu akan lebih dimengerti oleh anak kita sendiri terlebih bila kita menampakkan wajah dan suara sebab wajah kita sangat dirindukan anak-anak dan bahasa kita lebih mudah dipahami anak-anak. Tentu banyak video pembelajaran di Youtube, tapi itu kan punya ‘mamak orang lain’, bukan punya ‘mamak mereka’. Mengapa harus video, bukankah video boros paket? Iya memang, tapi lihatlah bagaimana lihai mereka untuk menyisihkan paket dan waktu untuk menonton Youtube atau bermain game.  

Bukankah guru pun harus lihai juga hadir dalam video-video Youtube tontonan mereka. Bukankah kita harus bisa berimajinasi membuat tokoh kartun atau animasi dalam video game pembelajaran. 
     
Tentu sulit harus belajar lagi membuat video-video seperti itu. Bukankah kita adalah guru yang merdeka? Merdeka untuk terus belajar, merdeka untuk terus berinovasi, merdeka terhadap penjajahan kompleksitas permasalahan pjj pandemi. Mungkin dari 30 siswa, hanya 20 yang punya hape dan hanya 10 orang bisa ikut pembelajaran di pagi harinya dan hanya lima orang yang mengumpulkan tugas. Lalu apakah kita berhenti dan menyerah. Ayok Bapak-Ibu untuk terus merdeka mengajar. Sebab orang-orang yang berhenti BELAJAR akan menjadi pemilik masa lalu dan orang-orang yang masih terus BELAJAR akan menjadi pemilik masa depan.(NN)
Share:
Komentar

Berita Terkini