Ajukan Eksepsi, Kuasa Hukum Walikota Medan Nonaktif Sebut Dakwaan JPU Kabur

armen
Kamis, 12 Maret 2020 - 18:58
kali dibaca



Mediaapakabar.com-Sidang kasus dugaan suap dengan terdakwa Walikota Medan nonaktif Dzulmi Eldin kembali digelar di ruang Cakra Utama Pengadilan Negeri (PN) Medan, Kamis (12/3/2020).

Tim kuasa hukum Eldin membacakan nota keberatan atau eksepsi terhadap dakwaan jaksa di depan majelis hakim yang diketuai oleh Abdul Azis.

Dalam nota keberatan Eldin yang dibacakan tim kuasa hukumnya, mereka mempertanyakan soal isi surat dakwaan jaksa KPK. Menurut kuasa hukum Eldin, surat dakwaan terhadap kliennya dianggap kabur dan tidak jelas.

Nizamuddin salah satu kuasa hukum Eldin dalam nota keberatannya juga mempersoalkan surat perintah penyidikan nomor: Sprin. Dik/142/DIK.00/01/10/2019 tanggal 16 Oktober 2019, menurutnya saat itu, terhadap kliennya langsung dilakukan upaya paksa penahanan di Rutan Klas I Jakarta Timur Cabang KPK pada Pomdam Jaya Guntur pada 16 Oktober-4 November 2019.

Kemudian, kata Nizamuddin, dalam berkas dakwaan KPK, di dakwaan pertama maupun kedua, penuntut umum tidak menguraikan secara jelas, mendalam dan terperinci mengenai bentuk atau sifat keikutsertaan Eldin dalam kasus ini. 

"Maka surat dakwaan penuntut umum diklasifikasikan sebagai surat dakwaan kabur dan tidak terang. Sehingga surat dakwaan batal demi hukum," ujarnya.

Seusai sidang, Nizamuddin kembali menegaskan, bahwa Eldin tidak masuk dalam kategori Operasi Tangkap Tangan (OTT) sesuai Pasal 1 angka 19 KUHAP. 

"Sehingga dalam keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 21/PU/12/2014, kaidah dalam putusan MK harus mewajibkan setiap penyidik untuk melakukan pemeriksaan sebagai calon tersangka," katanya. 

Dia juga menyinggung tentang kapasitas terdakwa Dzulmi Eldin sebagai orang yang melakukan atau orang yang turut melakukan. Menurutnya, kualifikasinya tidak dijelaskan, sehingga dia menganggapnya kabur. 

Usai membacakan nota keberatan, majelis hakim menunda sidang hingga pekan depan dengan agenda jawaban jaksa (replik). 

Sebelumnya dalam sidang, jaksa KPK  menyebutkan, kasus suap Eldin berawal dari kekurangan anggaran kegiatan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi).

Terdakwa pada pertengahan bulan Juli 2018 menerima laporan dari Samsul Fitri tentang dana yang dibutuhkan untuk keberangkatan kegiatan Apeksi di Tarakan Kalimantan Utara sejumlah Rp200 juta. Namun yang ditanggung oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tidak mencapai jumlah tersebut. 

Mendapat laporan itu, terdakwa kemudian memberikan arahan untuk meminta uang kepada para Kepala OPD/Pejabat Eselon II dan Samsul Fitri menyatakan kesanggupannya.

Samsul Fitri di hadapan terdakwa kemudian membuat catatan para Kepala OPD/Pejabat Eselon II yang akan dimintai uang serta perkiraan jumlahnya yang mencapai Rp240 juta. Atas catatan perhitungan Samsul Fitri tersebut terdakwa menyetujuinya.

Namun ternyata, permintaan Eldin melalui Samsul Fitri, hanya terkumpul Rp120 juta. Dalam kesempatan lain, permintaan Eldin ternyata terus berlanjut, hingga yang terakhir ia meminta uang pegangan dan perjalanan selama menghadiri undangan acara Program Sister City di Kota Ichikawa Jepang pada Juli 2019. Pada kasus ini Eldin didakwa telah menerima uang yang dikumpulkan dari para kepala OPD totalnya mencapai Rp2,1 miliar lebih.  

Terdakwa diancam pidana dalam Pasal 12 huruf a UU RI No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHPidana jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana. (dian)

Share:
Komentar

Berita Terkini