Mediaapakabar.com-Sidang kasus dugaan suap dengan terdakwa Walikota Medan nonaktif Dzulmi Eldin kembali digelar di ruang Cakra Utama Pengadilan Negeri (PN) Medan, Kamis (12/3/2020).
Tim kuasa hukum Eldin
membacakan nota keberatan atau eksepsi terhadap dakwaan jaksa di depan majelis
hakim yang diketuai oleh Abdul Azis.
Dalam nota keberatan
Eldin yang dibacakan tim kuasa hukumnya, mereka mempertanyakan soal isi surat
dakwaan jaksa KPK. Menurut kuasa hukum Eldin, surat dakwaan terhadap kliennya
dianggap kabur dan tidak jelas.
Nizamuddin salah satu
kuasa hukum Eldin dalam nota keberatannya juga mempersoalkan surat perintah
penyidikan nomor: Sprin. Dik/142/DIK.00/01/10/2019 tanggal 16 Oktober 2019,
menurutnya saat itu, terhadap kliennya langsung dilakukan upaya paksa penahanan
di Rutan Klas I Jakarta Timur Cabang KPK pada Pomdam Jaya Guntur pada 16
Oktober-4 November 2019.
Kemudian, kata
Nizamuddin, dalam berkas dakwaan KPK, di dakwaan pertama maupun kedua, penuntut
umum tidak menguraikan secara jelas, mendalam dan terperinci mengenai bentuk
atau sifat keikutsertaan Eldin dalam kasus ini.
"Maka surat
dakwaan penuntut umum diklasifikasikan sebagai surat dakwaan kabur dan tidak
terang. Sehingga surat dakwaan batal demi hukum," ujarnya.
Seusai sidang,
Nizamuddin kembali menegaskan, bahwa Eldin tidak masuk dalam kategori Operasi
Tangkap Tangan (OTT) sesuai Pasal 1 angka 19 KUHAP.
"Sehingga dalam
keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 21/PU/12/2014, kaidah dalam putusan MK
harus mewajibkan setiap penyidik untuk melakukan pemeriksaan sebagai calon
tersangka," katanya.
Dia juga menyinggung
tentang kapasitas terdakwa Dzulmi Eldin sebagai orang yang melakukan atau orang
yang turut melakukan. Menurutnya, kualifikasinya tidak dijelaskan, sehingga dia
menganggapnya kabur.
Usai membacakan nota
keberatan, majelis hakim menunda sidang hingga pekan depan dengan agenda
jawaban jaksa (replik).
Sebelumnya dalam
sidang, jaksa KPK menyebutkan, kasus suap Eldin berawal dari kekurangan
anggaran kegiatan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi).
Terdakwa pada
pertengahan bulan Juli 2018 menerima laporan dari Samsul Fitri tentang dana
yang dibutuhkan untuk keberangkatan kegiatan Apeksi di Tarakan Kalimantan Utara
sejumlah Rp200 juta. Namun yang ditanggung oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) tidak mencapai jumlah tersebut.
Mendapat laporan itu,
terdakwa kemudian memberikan arahan untuk meminta uang kepada para Kepala
OPD/Pejabat Eselon II dan Samsul Fitri menyatakan kesanggupannya.
Samsul Fitri di
hadapan terdakwa kemudian membuat catatan para Kepala OPD/Pejabat Eselon II
yang akan dimintai uang serta perkiraan jumlahnya yang mencapai Rp240 juta.
Atas catatan perhitungan Samsul Fitri tersebut terdakwa menyetujuinya.
Namun ternyata,
permintaan Eldin melalui Samsul Fitri, hanya terkumpul Rp120 juta. Dalam
kesempatan lain, permintaan Eldin ternyata terus berlanjut, hingga yang
terakhir ia meminta uang pegangan dan perjalanan selama menghadiri undangan
acara Program Sister City di Kota Ichikawa Jepang pada Juli 2019. Pada kasus
ini Eldin didakwa telah menerima uang yang dikumpulkan dari para kepala OPD
totalnya mencapai Rp2,1 miliar lebih.
Terdakwa diancam
pidana dalam Pasal 12 huruf a UU RI No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI No. 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHPidana jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana. (dian)