Analisis Survei Capres 2024, Antara Politis dan Giring Opini

armen
Rabu, 26 Februari 2020 - 11:48
kali dibaca

Mediaapakabar.com-Sejumlah lembaga survei di awal 2020 sudah 'berlomba' mengeluarkan survei terkait Pilpres 2024, terutama nama-nama yang bakal jadi capres. Nama Prabowo Subianto hingga Anies Baswedan masuk yang dalam survei itu digadang-gadang menjadi kandidat terkuat maju di Pilpres 2024.

Dalam catatan CNNIndonesia.com, pada Februari 2020, setidaknya ada tiga lembaga survei yang mengeluarkan hasil survei capres 2024. Ketiganya, yakni Indo Barometer, Parameter Politik Indonesia (PPI) dan Politika Research and Consulting (PRC), serta Media Survei Nasional (Median).

Ketiga lembaga survei itu juga merilis hasil survei dalam waktu berdekatan. Indo Barometer dan PPI dan PRC pada Minggu (23/2), sementara Median baru merilis hasil temuannya pada Senin (24/2).

Peneliti Politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro menilai, rilis survei yang dilakukan di awal 2020 untuk Pilpres 2024 masih terlalu dini. Meski sah-sah saja jika lembaga survei itu merilis hasil temuannya untuk mengantisipasi dinamika politik lima tahun ke depan.

Namun begitu, Siti melihat, hasil survei harus bisa dipertanggungjawabkan mengingat lembaga survei ibarat produsen yang memasarkan produknya kepada masyarakat sebagai konsumen.

"Dia harus transparan dan akuntabel. Apa maksud dan tujuannya survei ini, Pemilu masih 2024, ini masih 2020 awal," kata Siti saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (24/2).

Bentuk pertanggungjawaban itu bisa dimulai dari keterbukaan lembaga survei terhadap hasil temuan mereka merupakan pesanan pihak tertentu atau tidak. Tak ada masalah jika memang survei itu pesanan selama publikasinya hanya diungkap kepada pihak pemesan.

Jadi bermasalah jika lembaga survei itu melaporkan hasil surveinya kepada masyarakat. Siti khawatir, jika survei pesanan disampaikan kepada publik, maka yang terjadi adalah penggiringan opini.

"Kalau memang itu untuk kepentingan internal, ya untuk internal. Valid, akurat kepada yang membayar. Jangan siapa yang bayar, tapi jadi konsumsi publik dan publik digiring dengan opini," jelas dia.

Senada dengan Siti, Direktur Eksekutif Political and Public Policy Studies Jerry Massie menganggap hasil survei terkait Pilpres 2024 yang dirilis pada awal tahun ini masih sangat prematur. Ia menduga ada unsur politis di balik hasil-hasil survei tersebut.

Jerry menyatakan, bukan tidak mungkin hasil survei ketiga lembaga itu merupakan barang pesanan pihak-pihak tertentu.

"Hindari survei pesanan dengan mengangkat branding calon tertentu. Opini digiring tak bisa berdampak pada mindset publik. Kecuali skeptis dan apatis atau swing voters pemilih mengambang," jelas Jerry.

Upaya Promosi dan Menjegal Calon Tertentu

Dari hasil survei ketiga lembaga itu diketahui mereka semua menempatkan sosok Menteri Pertahanan sekaligus Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto sebagai kandidat capres terkuat untuk Pilpres 2024.

Indo Barometer misalnya, menempatkan Prabowo sebagai capres terkuat dan mengungguli sedikitnya 22 nama elite populer di kalangan masyarakat dengan tingkat elektabilitas mencapai 22,5 persen.

Pun demikian dengan survei PPI dan PRC, Prabowo berada di posisi teratas dengan tingkat elektabilitas 17,3 persen.

Sedangkan, dari hasil survei Median setali tiga uang. Tingkat popularitas Prabowo mencapai 93,6 persen dengan tingkat elektabilitas tertutup mencapai 18,8 persen.
Survei Capres 2024: Prematur, Politis, dan Penggiringan Opini

Selain nama Prabowo, muncul pula nama sejumlah kepala daerah seperti Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, dan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Mereka juga disebut sebagai kandidat kuat capres pada 2024.

Dari hasil itu, Jerry melihat hal itu sebagai upaya untuk menaikkan nama capres tertentu. Hal ini terlihat jelas dari hasil ketiga lembaga survei yang sama-sama mengangkat nama Prabowo sebagai capres terkuat.

"Memang ini bagian untuk mengangkat branding capres atau bahasa lain mendongkrak popularitasnya," papar Jerry.

Senada, pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI) Ujang Komarudin turut menilai hasil survei tersebut tampak seperti upaya mempromosikan dan menjegal nama tertentu.

"Sepertinya ada upaya untuk mempromosikan capres tertentu dan menghalangi laju capres yang lain. Tapi hal tersebut merupakan hal biasa dalam politik," ungkap Ujang.

Butuh Waktu Cari Capres

Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari menjelaskan alasan pihaknya melakukan survei di awal 2020. Menurut dia, alasan paling utama karena melahirkan presiden butuh waktu.

Survei, kata dia, menjadi bagian dalam proses pencarian kandidat capres. Apalagi faktanya pembicaraan tentang capres telah dimulai oleh para pemimpin partai dan media massa.

"Banyak partai di balik layar telah memikirkan dan membuat tim, bahkan bekerja, khususnya yang ketumnya mau jadi capres," jelas Qodari.

Direktur Eksekutif PPI Adi Prayitno juga menyatakan, pihaknya bersama PRC melakukan survei terkait Pilpres 2024 ini dilatarbelakangi kepeduliannya terhadap kondisi politik di Indonesia. Menurut dia, selama ini perbincangan soal politik di Indonesia hanya terjadi saat akan mendekati Pemilu.

Adi menambahkan, meski Pilpres 2019 baru usai, tapi elite dan tokoh partai sudah bekerja dan berpikir bagaimana memenangkan Pemilu 2024. Sehingga, tidak mengherankan jika masyarakat juga sudah mulai memiliki preferensi politik.

"Orang bicara bahwa sosok-sosok ini orang yang cukup potensial, memiliki bekal elektabilitas untuk bertarung menuju 2024," jelas Adi.

"Jadi ada effort politik yang dibaca jangka panjang, itu yang membuat ramai politik kita," sambung dia.

Adi juga tak menampik jika hasil survei yang dilakukan PPI dan PRC terkesan politis. Sebab, bagi dia, lembaga survei sudah sewajarnya berpartisipasi dalam politik.

"Kita juga sambil lalu ingin melihat, kira-kira 2024 masyarakat kita maunya seperti apa calon pemimpinnya. Ternyata ada yang ingin mayoritas dari kalangan militer, sipil, profesional, tokoh agama. Itu yang ada di benak kita," kata Adi.

Sementara itu Direktur Eksekutif Median Rico Marbun mengatakan survei capres sudah digelar sebagai langkah tindak lanjut tingkah laku atau 'pancingan' elite politik.

Ia menyebut salah satu tingkah laku elite itu adalah saat Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh yang menyebut Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sebagai kandidat potensial untuk calon presiden 2024.

Selanjutnya saat Presiden Joko Widodo saat menyinggung nama Sandiaga Uno yang dinilai sosok tepat untuk menggantikannya menjadi Presiden di tahun 2024.

"Statement atau lontaran komunikasi elit politik beberapa bulan pasca-pilpres 2019 turut menghangatkan suasana jauh sebelum pilpres," kata Rico.



Sumber : CNNIndonesia.com
Share:
Komentar

Berita Terkini