Pengamat Ini Sebut Sengketa Natuna dengan China Ujian Diplomasi Jokowi

armen
Minggu, 05 Januari 2020 - 09:23
kali dibaca


Presiden Joko Widodo (Jokowi). (CNN Indonesia/ Feri Agus Setyawan)
Mediaapakabar.com-Peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi mengatakan Presiden Joko Widodo  harus memperlihatkan ketegasan dan kemampuan diplomasi, terkait sengketa perairan Natuna dengan China.

Menurut dia, Jokowi juga bisa menunjukkan kapasitasnya sebagai pemimpin negara untuk berangkat ke perairan Natuna dan berkantor sementara di kapal perang. Dari kapal perang tersebut, Jokowi bisa memberikan instruksi langsung dan sampaikan peringatan yang tegas dan keras tanpa harus meladeni provokasi.
"Kalau menurut saya, inilah saatnya Presiden menunjukkan ketegasan sekaligus kepiawaian diplomasinya," ujar Khairul saat dihubungi CNNIndonesia.com, Sabtu (4/1).
Khairul mencontohkan mendiang Presiden Soekarno saat bersengketa dengan Belanda terkait Irian Barat sampai mengirimkan Pasukan Katak ke Terusan Panama. Pasukan ini memiliki misi infiltrasi dan sabotase kapal perang Angkatan Laut Belanda, Karel Doorman.

"Eksistensi pasukan senyap dalam posisi '
target locked' itu kemudian berhasil menekan Paman Sam (Amerika Serikat) untuk lebih serius memaksa Belanda secepatnya berunding soal Papua," ujar Khairul.

Khairul mengatakan Terusan Panama adalah halaman belakang AS yang dijamin keamanannya. Khairul menjelaskan keberhasilan misi itu adalah kecolongan yang memalukan, apalagi bila Karel Doorman sampai meledak di Terusan Panama.
"Ada banyak perang yang terjadi karena kegagalan diplomasi, namun ada banyak juga perang yang berhasil dicegah karena kepiawaian diplomasi. Meski tak jarang harus didahului oleh kekerasan politik maupun militer," katanya.

Khairul lebih lanjut juga menyoroti sikap Jokowi yang berlawanan dengan Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto, dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan, dalam persoalan ini.

Khairul mengatakan silang pendapat tersebut tak terlalu penting karena Jokowi memiliki otoritas tertinggi di pemerintahan Indonesia. Ketegasan Jokowi disebut Khairul harus diiringi dengan aksi nyata.

"Silang pendapat yang tidak penting. Keputusan soal sikap sepenuhnya ada di tangan presiden dengan segala risiko yang menyertai. Bukan di tangan para pembantunya," kata Khairul.
Menurut Khairul, Luhut dan Prabowo memiliki latar belakang militer sekaligus bisnis. Sikap 'lembek' Luhut dan Prabowo didasari atas kalkulasi dari sisi ekonomi dan militer.

"Saya kira pernyataan lunak mereka lebih didasari atas kalkulasi kekuatan riil kita serta konsekuensi dan implikasi terkait kepentingan ekonomi bisnis jika kita memilih reaksi keras," katanya.


Sumber : CNNIndonesia.com
Share:
Komentar

Berita Terkini