Mediaapakabar.com- Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto menyebutkan metode "cuci otak" atau yang lebih dikenal dengan digital subtraction angiography (DSA) sesuai dan bisa diterapkan di rumah sakit.
"Jelas pas untuk diterapkan. Kenapa tidak diterapkan? Surat menkes
pun ada, bukan saya yang menulis loh, jadi artinya obyektif riset, sama dengan
pelayanan yang lain terus dikembangkan. Bahkan itu menunjukkan bahwa empiris
atau risetnya sudah jalan tinggal SOP dari rumah sakitnya saja," kata dia
usai mengisi Seminar di RSUP Sanglah, Denpasar, Sabtu (28/12/2019).
Menurut gleneagles.com.sg, digital subtraction angiography adalah
pemeriksaan yang memberikan gambar lumen (permukaan bagian dalam) pembuluh
darah, termasuk arteri, vena dan serambi jantung. Gambar ini diperoleh dengan
menggunakan mesin Sinar-X bantuan komputer yang rumit. Media kontras khusus,
atau dye (cairan
bening dengan kepadatan tinggi) biasanya disuntikkan agar persediaan darah ke
kaki, jantung atau organ tubuh lainnya mudah dilihat. Teknik pemeriksaan
ini pada umumnya digunakan untuk mendiagnosis berbagai penyakit pembuluh darah
seperti aneurisme, pendarahan dan tumor.
Ia menjelaskan bahwa DSA di rumah sakit mana pun sudah dibuat. "SOP
(standard
operating procedure) itu ada di hospital bylaw (peraturan
RS) yang ditentukan oleh kepala rumah sakit, dan sah itu kalau dikerjakan."
Ia mengatakan bahwa DSA adalah alat dan bentuknya berupa software,
kemudian metode ini dapat disebut sebagai serangkaian diagnostik untuk menilai
kondisi pembuluh darah sehingga dapat mengetahui penyakit dari pasien dan
memberikan pengobatan yang tepat.
Selain itu, terkait dengan anggaran yang diperlukan dalam menerapkan
metode "cuci otak", pihaknya menuturkan bahwa yang dibutuhkan saat
ini adalah niat. Apabila niat atau keinginan sudah ada, maka anggaran bisa
dicari, tambahnya.
"Yang dibutuhkan sekarang itu niat kalau niatnya ada anggaran bisa
dicari, kalau enggak ada ya tidak ada gunanya, nanti
jadi mangkrak, karena harus ada komitmen kalau mau ada alat, harus ada
komitmen. Bahwa komitmen itu akan dipakai untuk masyarakat dengan useful,"
jelasnya.
Menkes
pernah diberhentikan sementara sebagai anggota Ikatan Dokter Indonesia
(IDI) pada 2018 terkait metode terapi cuci otak menggunakan digital
subtraction angiography (DSA). Majelis Kode Etik Kedokteran
(MKEK) IDI menilai Terawan melanggar kode etik karena mengiklankan dirinya
terkait metode cuci otak dengan DSA.
Ia
menjelaskan untuk keberadaan BPJS di sini merupakan pelayanan dasar kesehatan.
Untuk itu, pihaknya meminta untuk menyesuaikan dengan anggaran BPJS yang ada,
apabila semuanya dimasukkan dalam BPJS akan meruntuhkan kemampuan rumah sakit
tersebut.
"Kemampuan
bayar masyarakat yang mampu itu besar sekali jadi jangan sampai orang yang
mampu (secara finansial) ini justru terhalang melakukan sebuah terapi padahal
punya kemampuan. Bisa lihat klaim rasionya, justru orang miskin disedot oleh
orang yang tidak miskin, kan jadinya tidak ada gotong royong di sana,"
ucap Terawan.
Terkait
dengan kesiapan RS dan tenaga pihaknya menilai sudah siap, dan saat ini yang
dibutuhkan yaitu adanya rumah sakit baru di daerah yang harus ditumbuhkan agar
akses pelayanan kesehatan terpenuhi sesuai dengan universal health
coverage (UHC) yang menjadi cakupan akses pelayanan kesehatan.
Sumber: ANTARA