Rencana Pelantikan Presiden Jokowi Digugat Dokter Ini

Media Apakabar.com
Senin, 14 Oktober 2019 - 21:00
kali dibaca
Seorang dokter yang juga aktivis, Zulkifli S Ekomei (kanan) akan menggugat pelantikan Presiden Joko Widodo (Jokowi), dan Wakil Presiden Maruf Amin. Foto/SINDOnews/Lukman Hakim
Mediaapakabar.com-Rencana pelantikan Presiden Joko Widodo (Jokowi), dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin. digugat Dokter Zulkifli S Ekomei.Tidak itu saja, dia juga menggugat MPR serta 17 pihak lainnya terkait rencana pelantikan itu.

Dilansir Sindonews.com, gugatan itu bakal disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Senin (28/10/2019).

Menurut aktivis yang akrab disapa dokter Zul tersebut, salah satu hal yang sangat penting dan mendesak yang mendasari diajukannya gugatan ini, yakni terkait proses pemilihan presiden dan wakil presiden periode 2019-2024.

"Di pasal 6A ayat 3 itu ada ketentuan presiden dan wakil presiden bisa dilantik apabila di semua provinsi tidak boleh kalah di bawah 20 persen. Di Aceh, dan Sumatera Barat tidak memenuhi syarat itu," katanya pada wartawan di Surabaya, Senin (14/10/2019) sore.

"Padahal kita tahu MK tidak berhak mengubah UUD, yang berhak adalah MPR. MK hanya berwenang mengadili masalah UU bertentangan apa tidak dengan UUD," ujarnya.

Dokter Zul bahkan mengindikasikan banyak kejadian akhir-akhir ini, sebenarnya hanya untuk mengalihkan persoalan besar terkait dengan UUD 1945. "Karena kalau 20 Oktober ini presiden dan wakil presiden terpilih tetap dilantik, maka jelas di situ menabrak pasal 6A ayat 3 UUD 1945 (hasil amandemen)," paparnya.

Bagaimana kalau tetap dilantik? "Bisa saja, tapi itu artinya melanggar UUD yang mereka anut. Kalau dipaksakan, sudah UUD-nya 'palsu' ditabrak lagi," katanya.

"Makanya kita minta kembali ke MPR dulu, kan sudah terpilih. Sidang dulu MPR, kita cooling down dulu, jangan buru-buru," sambungnya.

Dokter Zul menambahkan, dampak yang paling dia sesalkan terkait pengesahan UUD 1945 hasil amandemen, yakni proses pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung.

"Kita lihat dampaknya, ini menggores persatuan Indonesia kan? Ada istilah cebong dan kampret, dan sampai sekarang nggak bisa disatukan. Siapa yang bisa satukan kalau tidak kembali ke UUD 1945 yang asli," ujarnya.

Bukankah soal UUD 1945 hasil amandemen ini persoalan lama, sementara sistem ketatanegaraan harus tetap jalan? "Harusnya itu disadari, makanya saya gugat. Kalau mau teruskan jangan pakai nama UUD 1945, pakai nama lain. Itu sebetulnya inti persoalannya, kenapa mesti pakai nama UUD 1945," tegasnya.

Sebab, banyak salah kaprah yang terjadi. Dia mencontohkan sistemnya presidensial, tapi setiap pejabat eksekutif harus fit and proper test dengan DPR, artinya tidak jelas. "Mereka mengatakan negara kesatuan, NKRI harga mati, tapi ada senator. Ini kan untuk negara federal, makanya harus kembali ke UUD 1945 yang asli," tuntasnya.

Sebenarnya, lanjut dokter Zul, di awal polemik sudah ditanggapi oleh pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra bahwa ada keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengatakan hal itu berlaku kalau pesertanya lebih dari dua.

(ar)
Share:
Komentar

Berita Terkini