Terlalu Eforia, Pers Terjebak Pada 'Jurnalisme Got'

Media Apakabar.com
Minggu, 17 Februari 2019 - 17:23
kali dibaca
Terlalu Eforia, Pers Terjebak Pada 'Jurnalisme Got'
Zulfikar Tanjung Ketua SMSI Sumut 
Mediaapakabar.com-Di era digitalisasi sekarang yang ditandai dengan kecanggihan sistem telekomunikasi dan keterbukaan informasi, jangan membuat pers terutama media siber, eforia tanpa batas sehingga terjebak dalam 'jurnalisme got'.

Hal itu dikatakan Zulfikar Tanjung Ketua Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Sumut Zulfikar  menyikapi posisi pers menjelang puncak tahun politik saat ini pada wartawan di Medan Minggu (17/2/2019). 

Bergeraknya dinamika politik, kata dia, seyogyanya harus diikuti oleh pers nasional dengan sikap semakin profesional. Artinya pers harus menghindari peliputan bersifat fitnah, dusta, bohong, insinuasi serta tidak mendiskreditkan pribadi manapun.

"Pers harus memberikan kontribusi positif berdasarkan jiwa dan semangat gerakan reformasi, dan itu berarti pers harus bisa melepaskan diri dari stempel 'jurnalisme got' yang dikualifikasi sebagai media yang sesukanya terbit serta isinya tidak jelas dan asal-asalan," jelas Tanjung seraya mengatakan  istilah itu pernah juga diingatkan anggota Dewan Kehormatan (DK) PWI tahun 1952 Roeslan Abdulgani.

Menurut dia, mengingat sistim pemilu sekarang dilakukan secara langsung oleh rakyat, maka berbagai isu dan rumor banyak beredar di masyarakat. Mulai dari tuduhan adanya kecurangan, praktek politik uang (money politics) dan lainnya.

"Semuanya itu akan berada pada situasi tatanan kebebasan pers yang semakin terbuka luas, khususnya bagi media siber yang perkembangannya per detik 'up date'. Oleh sebab itu, jajaran pers khususnya wartawan siber diharapkan dapat lebih arif dan bijaksana dalam menyikapinya," ujar Tanjung. 

Lebih jauh dia mengatakan, sadar akan keadaan tersebut maka jajaran pers di Sumut diharapkan merasa berkewajiban untuk melakukan peliputan Pilpres maupun pemilu legislatif secara bertanggung jawab yakni tidak menjadi pers partisan.

"Artinya menjunjung tinggi independensi, memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui segala informasi secara transparan, menjaga netralitas, obyektivitas dan akurasi berita, tidak menjadi bagian dari konflik, sebaliknya memberi solusi atas konflik, bersikap elegan dan tidak arogan terhadap sumber berita, melakukan peliputan dan pemberitaan yang berimbang," beber Tanjung. 

Tanjung yang juga Ketua Bidang Pempolkam PWI Sumut itu mengimbau jajaran pers cermat meneliti kebenaran bahan informasi sebelum disiarkan. Disamping memperhatikan kredibilitas dan kompetensi sumber berita. 


Menerapkan prinsip jurnalisme damai, meningkatkan curiocity atas hasil-hasil pemilu melalui peliputan investigatif,  serta menyikapi suap sebagai suatu pengkhianatan terhadap kewartawanan dan tidak menyalahgunakan profesi untuk kepentingan pribadi dan kelompok.

Tanjung membenarkan dalam melaksanakan tugas junalistik tidak cukup dengan hanya berpedoman kepada etika, tetapi etika itu harus dilengkapi dengan estetika. 
Sebab, bisa saja berita telah disajikan sesuai etika tapi kurang indah karena tidak dilengkapi dengan estetika. 

Dengan kata lain, yang diinginkan adalah pemberitaan yang selain memenuhi norma etik juga memiliki estetika.  

"Oleh sebab itu ternyata prinsip berita 5W +1 H yang memang mutlak diperlukan hendaklah juga dilengkapi dengan pertanyaan apa lanjutannya, apa dampaknya dan apa solusinya. Dengan ditambahnya prinsip tersebut berita menjadi utuh, lengkap, komprehensif, punya latar belakang, punya perspektif bahkan memberikan jalan keluar," jelas Tanjung. 

Meski begitu, diakuinya bahwa dinamika perkembangan pers akhir-akhir ini terjadi perbenturan yang makin tajam antara kepentingan idiil pers di satu sisi dan kepentingan bisnis pers di sisi lain sebagai konsekuensi perkembangan perusahaan pers menjadi industri padat modal.

Dia mengingatkan jangan sampai karena terlalu mengutamakan kepentingan bisnis pers menyebabkan media terlalu bersikap negative thinking dalam arti menganut prinsip 'bad news is good news' karena memang dianggap laku dijual dan mampu memiliki ‘rating’ tertentu, sedangkan berita-berita bersifat positif, biasanya diabaikan karena tidak laku untuk dijual.

Berdasarkan beberapa hal ini, Tanjung menambahkan, nyatalah fungsi maksimal pers memang sangat diperlukan karena kemerdekaan pers adalah salah satu perwujudan kedaulatan rakyat dan merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis. (*/dani)
Share:
Komentar

Berita Terkini