Bule Cantik Tanpa Busana Beraktivitas dan Berbaur dengan Suku Primitif di Pedalaman Papua

Admin
Selasa, 19 Februari 2019 - 08:47
kali dibaca
Bule cantik membuat sagu bersama manusia primitif di pedalaman Papua
Mediaapakabar.com Suku primitif di pedalaman Papua menarik perhatian warga negara asing. Jurnalis dan wisatawan asing tertarik untuk mengetahui lebih jauh kehidupan manusia primitif di daerah yang berbatasan dengan Papua Nugini tersebut.


Wisatawan asing dari Belanda mendatangi suku primitif yang tinggal di dalam hutan belantara. Manusia primitif tersebut hidup berpindah-pindah seperti pada zaman prasejarah.
Wisatawa asing itu datang bersama istri, anak, dan rekannya. Ia dibantu penerjemah yang memahami bahasa manusia primitif di pedalaman Papua seperti yang dilansir Pojoksatu.id.
Dalam percakapan dengan suku pedalaman Papua, kepala suku membeberkan kehidupan mereka sehari-hari di dalam hutan belantara.
Bule cantik berbaur dengan manusia primitif di pedalaman Papua
Bule cantik berbaur dengan manusia primitif di pedalaman Papua
Meski terbilang primitif, mereka tetap menaggap tamu sebagai bagian dari keluarga. Mereka menerima warga asing dengan penuh suka cita.
“Kami berpindah dari satu tempat ke tempat lain,” kata ketua adat, seperti dikutip pojoksatu.id dari video berjudul “Kehidupan Primitif Suku Pedalaman Papua Barat” yang diposting oleh akun Ruslan Kamarov pada 1 Oktober 2018.
Dalam video tersebut, tampak seorang bule cantik berbaur dengan suku primitif di dalam hutan.
Ia mengenakan pakaian layaknya suku primitif. Hanya bagian bawah yang tertutup. Sementara bagian perut sampai kepala dibiarkan terbuka tanpa busana.
Bule cantik itu pun ikut mengerjakan rutinitas suku primitif, seperti membuat sagu. Bule cantik itu tampak enoy berbaur dengan suku pedalaman Papua.
Suku primitif ini bertahan hidup dengan cara berburu. Mereka juga mengandalkan sagu sebagai makanan pokok sehari-hari.
Bule cantik berbaur dengan manusia primitif di pedalaman Papua
Bule cantik membuat sagu bersama manusia primitif di pedalaman Papua
Dalam sesi wawancara, seorang kepala suku sempat tersinggung saat ditanya apakah mereka juga memakan manusia alias kanibal
“Apa maksud pertanyaan kamu,”? tanya kepala suku dengan tinggi sambil menatap ke arah si penerjemah.
“Belum (pernah memakan manusia), tetapi orang tua saya membunuh banyak orang,” jawabnya.
Si penerjemah kemudian bertanya apakah mereka pernah melihat uang, mobil atau kapal besar. Si kepala suku menjawab belum pernah. Dia pun berniat untuk melihat seperti apa bentuk uang kertas.
Suku Korowi di Pedalaman Papua
Salah satu suku primitif di pedalaman Papua yang paling terkenal yakni suku Korowai. Suku ini memiliki anggota hingga 3.000 orang. Mereka tinggal di Papua Barat, Indonesia yang dekat dengan perbatasan Papua Nugini.
Dilansir dari laman en.goodtimes.my, Korowai dikatakan sebagai satu kelompok manusia paling terpencil di dunia.
Suku Korowai tidak menyadari keberadaan orang lain selain diri mereka sendiri sebelum orang luar melakukan kontak dengan mereka pada 1970.
Suku Korowai diyakini pertama kali ditemukan pada 1974 oleh sekelompok ilmuwan yang tersesat. Ilmuwan ini tanpa sengaja memasuki wilayah suku Korowai.
Kelompok yang dipimpin oleh antropolog Peter Van Arsdale, ahli geografi Robert Mitton, dan pengembang komunitas Mark Grundhoefer memutuskan untuk mempelajari kehidupan penduduk.
Melalui observasi, daftar kata dasar dibuat dan mereka juga merekam aktivitas harian suku ini.
Suku Korawi Makan Manusia
Suku pedalaman Papua bikin sagu
Suku pedalaman Papua bikin sagu
Pada Mei 2006, pemandu wisata dan jurnalis, Paul Raffaele memimpin kru dalam ekspedisi ke hutan Papua.
Tujuannya untuk membuat film dokumenter tentang suku Korowai. Dia ingin memahami mereka dan alasan mereka melakukan beberapa ritual yang mengerikan.
Raffaele menulis dalam artikelnya bahwa kanibalisme dipraktekkan di antara manusia prasejarah. Hal itu bertahan hingga abad ke-19 di beberapa kebudayaan Pasifik Selatan yang terisolasi, terutama di Fiji.
“Tapi hari ini Korowai adalah satu dari sedikit suku yang diyakini memakan daging manusia,” kata Raffaele.
“Mereka tinggal sekitar 100 mil dari Laut Arafura, dimana Michael Rockefeller, putra gubernur New York, Nelson Rockefeller, menghilang pada 1961 saat mengumpulkan artefak dari suku Papua lainnya. Tubuhnya tidak pernah ditemukan,” tambahnya.
Pria ini juga menegaskan bahwa sebagian besar orang Korowai hidup dengan mengabaikan dunia di luar suku mereka.
Sering Terserang Wabah Penyakit
Raffaele mengatakan Korowai sering terkena beberapa wabah penyakit, termasuk malaria, tuberkulosis, elephantiasis dan anemia, dan khakhua.
“Korowai tidak memiliki pengetahuan tentang kuman mematikan yang menduduki hutan mereka, dan begitu percaya bahwa kematian misterius disebabkan oleh khakhua, atau penyihir yang mengambil bentuk laki-laki,” katanya.
Menurut pemandu Raffaele, Kembaren, banyak khakhua dibunuh dan dimakan setiap tahun.
Dalam sebuah wawancara yang dilakukan Raffaele dengan pemimpin suku, dia menjelaskan alasan orang Korowai mempraktikkan kanibalisme.
“Bagi Korowai, jika seseorang jatuh dari rumah pohon atau terbunuh dalam pertempuran maka alasan kematian mereka cukup jelas,” bebernya.
Suku primitif di pedalaman Papua
Suku primitif di pedalaman Papua
Dikatakan Raffaele, mereka tidak memahami mikroba dan kuman. Jadi ketika seseorang mati secara misterius, mereka percaya itu adalah karena seorang khakhua, penyihir lelaki yang datang dari akhirat.
“Seorang khakhua harus dibunuh dengan cara dimakan. Sebab khakhua sebenarnya adalah orang mati. Memakan mereka dianggap sebagai sistem keadilan terbaik,” pungkasnya. (AS)
Share:
Komentar

Berita Terkini