Ini Alasan DPW FSPMI Tolak Kenaikan Upah di Sumut Senilai 8,03 Persen dari UMP

Admin
Minggu, 21 Oktober 2018 - 17:40
kali dibaca
Buruh tergabung FSPMI sedang berdemo. Foto: Tribun Medan
Mediaapakabar.com - Surat Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Nomor 8.240/M-Naker/PHI9SK-Upah/X/2018 tentang Penyampaian Data Tingkat Inflasi Nasional dan Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Tahun 2018 per tanggal 15 Oktober 2018, mewajibkan gubernur untuk menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2019.

Dalam edaran tersebut, ditetapkan kenaikan UMP pada tahun depan sebesar 8,03 persen yang merupakan penjumlahan dari besaran inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional. Selain berdasarkan besaran kenaikan yang ditetapkan pemerintah, kenaikan UMP juga dengan memperhatikan rekomendasi Dewan Pengupahan Provinsi.

Untuk itu, UMP 2019 ditetapkan dan diumumkan oleh masing-masing gubernur secara serentak pada tanggal 1 November 2018. Selain itu, gubernur juga dapat (tidak wajib) menetapkan upah minimum kabupaten/kota (UMK) untuk kabupaten/kota tertentu, yang mampu membayar upah minimum lebih tinggi dari UMP. UMK 2019 ditetapkan dan diumumkan selambat-lambatnya pada 21 November 2019 dan berlaku terhitung mulai 1 Januari 2019.

Terkait hal itu, elemen buruh yang tergabung dalam Dewan Pimpinan Wilayah Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia Provinsi Sumatera Utara (DPW FSPMI Sumut) menolak tegas jika Gubernur Sumatera Utara (Gubsu) Edy Rahmayadi menaikan UMP mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015.

“Kita tagih janji Gubsu yang baru terpilih untuk peduli pada buruh Sumut. UMP Sumut saat ini sangat tidak tidak layak bagi buruh Sumut,” kata Ketua FSPMI Sumut Willy Agus Utomo baru-baru ini seperti yang dilansir Pojoksumut.com.

Menurut Willy, dinilai PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan mengakibatkan kembalinya rezim upah murah. Dengan adanya PP 78/2015 hak berunding serikat buruh untuk menentukan upah minimum hilang. Oleh karenanya,mendesak agar PP 78/2015 segera dicabut. “Secara hukum PP 78/2015 melanggar Pasal 88 dan 89 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,” ujar Willy.

Diutarakan dia, pihaknya menyerukan kepada kepala daerah baik Gubsu, wali kota dan bupati di Sumut untuk tidak memakai PP 78/2015 dalam menetapkan kenaikan upah minimum 2019. Penetapan upah minimum yang dilakukan harus didahului dengan survei pasar mengenai Kebutuhan Hidup Layak (KHL). “Bukan berdasarkan inflansi nasional dan pertumbuhan ekonomi nasional, yang dalam Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri yang menyebut besarnya kenaikan upah minimum 2019 adalah sebesar 8,03 persen,” cetusnya sembari meminta kepala daerah dapat mengabaikan Surat Edaran Menaker.

Naik Hingga 25 Persen

Lebih jauh dia mengatakan, buruh terang-terangan menolak kenaikan upah minimum 2019 sebesar 8,03 persen. Sebab kenaikan sebesar itu akan membuat daya beli kaum buruh makin menurun akibat kenaikan upah minimum yang rendah.

Padahal secara bersamaan, di tengah melemahnya rupiah terhadap dollar dan meningkatnya harga minyak dunia, berpotensi mengakibatkan harga-harga barang kebutuhan dan BBM jenis premium akan naik. Apalagi, sekarang pertamax sudah mengalami kenaikan.

Efeknya, apabila premium naik, maka akan menimbukan kenaikan harga-harga barang lainnya. Seperti harga kebutuhan pokok, transportasi, sewa/kontrak rumah, dan kenaikan harga-harga lainnya. “Kenaikan upah yang hanya 8,03 persen tidak akan memberikan manfaat bagi kaum buruh dan rakyat kecil, di tengah perkiraan kenaikan harga-harga barang tadi,” pungkasnya.

Ia menambahkan, pihaknya mengusulkan kenaikan upah minimum berkisar 20 hingga 25 persen, bukan 8,03 persen. Selain itu, upah minimum sektoral sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 harus tetap diberlakukan.

“UMP Sumut kita minta naik Menjadi sebesar Rp2,8 juta, UMK Medan dan Deli Serdang Rp3,5 juta. Bila pemerintah tidak mendengarkan aspirasi kaum buruh, maka kami kaum buruh di Sumut akan mempersiapkan aksi unjuk rasa besar-besaran untuk memperjuangkan kenaikan upah minimum tanpa menggunakan PP 78/2015” tandasnya. (AS)
Share:
Komentar

Berita Terkini