Rektor Universitas Brawijaya Protes Label Kampus Teroris yang Disandang versi BNPT

Admin
Rabu, 13 Juni 2018 - 18:54
kali dibaca
Prof Nuhfil Hanani
Mediaapakabar.com - Rektor Universitas Brawijaya Malang Prof Nuhfil Hanani mempertanyakan rilis Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang menyebut universitas yang dipimpinnya sebagai salah satu kampus yang terpapar radikalisme.

"Anggapan ataupun upaya-upaya untuk mengidentifikasi Universitas Brawijaya sebagai kampus teroris patut kami pertanyakan karena sampai saat ini UB masih memegang teguh dan terus mengupayakan nilai-nilai yang menjadi karakter khas universitas ini," kata Nuhfil di Malang, Jawa Timur, Rabu, 13 Juni 2018.

Nuhfil tidak memungkiri adanya kegiatan-kegiatan ilegal yang mengarahkan civitas akademika mengikuti gerakan radikalisme dan itu bisa saja terjadi di berbagai tempat, termasuk di dalam kampus. Namun menurutnya untuk melabelkan kampus terpapar radikalisme tidak bisa sembarangan dan harus dengan data akurat.

"Kita harus memiliki data akurat tentang apa penyebab terjadinya gerakan radikalisme di kampus, bagaimana cara penyebarannya, dan bagamaina cara mengatasi gerakan radikalisme tersebut," terang Nuhfil seperti yang dilansir Kriminologi.id.

Nuhfil mengatakan, UB yang merupakan salah satu kampus besar di Indonesia yang mempunyai karakter khas. Karakter khas ini secara jelas termaktub dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan UB Nomor 1 Tahun 2017 tentang Standar Mutu.

Nuhfil menambahkan, standar mutu UB merupakan paduan seimbang dan serasi antara nilai ketuhanan, keindonesian dan kebhinnekaan paradigma dengan semangat kewirausahaan nusantara. Dengan karakter khas ini, UB memegang teguh semangat nasionalisme.

Karakter khas yang dipegang teguh oleh UB, tambah Nuhfil, memberikan pengertian mendasar bahwa ilmu pengetahuan yang berasal dari nilai ketuhanan dan kebangsaan akan diarahkan untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi bangsa dan negara Indonesia.

Lebih lanjut, Nuhfil mengemukakan UB telah melakukan pengamatan dan deteksi dini terhadap isu radikalisme tersebut dan hasil pengamatan di lapangan ditemukan ada dua faktor penyebab radikalisme di dalam kampus, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.

Menurut Nuhfil, faktor pertama terjadinya seseorang ikut dalam gerakan radikal dan menjadi teroris adalah faktor internal dari dalam diri pelaku, yakni kondisi psikologis pelaku. Kondisi psikologis yang tidak stabil, seperti stres dan depresi akibat tuntutan hidup dan terbelit pada kesulitan ekonomi serta masa lalunya.

Seseorang yang kondisi psikologisnya tidak stabil, katanya, akan dengan mudah dipengaruhi oleh paham yang berkiblat pada terorisme.

Seseorang yang sedang labil akan cenderung mudah didekati secara personal oleh para agen teroris. Biasanya diawali dengan mengajak orang itu pada kelompok pengajian kecil atau halaqoh.

Sedangkan faktor eksternal, lanjutnya, lunturnya nilai-nilai kebangsaan, kesenjangan ekonomi, pemahaman keagamaan yang keliru, ada doktrin jihad dari luar masuk ke Indonesia, dan sentimen emosional ingin ikut jihad setelah melihat adanya penindasan kaum muslim di berbagai negara seperti di Palestina, Suriah, dan Afganistan.

Untuk menangkal radikalisme di kampus, Nuhfil mengatakan UB memiliki empat cara, di antaranya profilling civitas akademika untuk mengetahui pandangan dosen, tenaga administrasi dan mahasiswa mengenai paham radikal sebagai langkah awal untuk menentukan model pendampingan kepada civitas akademika.

"Profilling ini penting untuk menentukan langkah ke depan sekaligus menentukan model pendampingan," ucapnya.

Sebelumnya BNPT merilis 7 kampus perguruan tinggi negeri ternama yang diduga terpapar ideologi radikalisme yaitu: Unversitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Diponegoro (Undip), Institut Teknologi Surabaya (ITS), Universitas Airlangga (Unair), Universitas Brawijaya (UB). (AS)
Share:
Komentar

Berita Terkini