JPA Sumut Minta Pemerintah Jamin Perlindungan Anak Korban Terorisme

Media Apakabar.com
Selasa, 15 Mei 2018 - 19:10
kali dibaca
Ilustrasi
Mediaapakabar.com--Menyikapi peristiwa bom bunuh diri di Kota Surabaya, Jawa Timur, dimana anak-anak telah dilibatkan keluarga dalam aksi bom bunuh diri.

Jaringan Perlindungan Anak (JPA) Sumatera Utara yang terdiri dari berbagai lembaga swadaya masyarakat, akademisi, media dan individu penggiat perlindungan anak meminta pemerintah menepati janjinya untuk segera mematuhi butir-butir Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the Involvement of Children in Armed Conflict atau Protokol Opsional Konvensi Hak Anak mengenai Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata karena pemerintah Indonesia sudah meratifikasinya melalui UU No. 09/2012.

Desakan tersebut mereka sampaikan pada sesi khusus berkaitan dengan diskusi perumusan rancangan naskah akademis dan rancangan peraturan daerah Kota Medan tentang penyelenggaraan perlindungan anak di Belawan, Selasa, 15/05/2018.

Misran Lubis, Koordinator JPA Sumut didampingi 15 orang penggiat JPA lain mengatakan bahwa pemerintah Indonesia telah meratifikasi protokol tersebut sehingga secara hukum telah berkwajiban untuk melaksanakan seluruh isinya.

“Kita menganut asas pacta sunt servanda yang berarti agreements must be kept yaitu setiap perjanjian menjadi hukum yang mengikat bagi para pihak yang telah melakukan perjanjian, oleh karenanya kami meminta kepada pemerintah untuk menegakkan asas kepastian hukum dengan melakukan langkah-langkah perlindungan khusus terhadap korban anak yang dilibatkan dan selamat dalam peristiwa tersebut”tegas Misran Lubis.

Misran Lubis menambahkan, terhadap anak yang dilibatkan oleh tiga keluarganya dalam peristiwa tersebut, perlu diterapkan perlindungan sebagaimana diatur dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak.

“Harapan kami pemerintah dan pihak kepolisian dapat menerapkan keadilan yang restoratif seperti diatur dalam UU No. 11/2012 dan paling penting ada upaya terus-menerus untuk memulihkan psikologis si anak, jadi jangan ada pemikiran untuk melakukan pembalasan kepada si anak, karena dia adalah korban” harapnya.

Sementara Anwar Situmorang, dari Gugah Nurani Indonesia melihat peristiwa ini sebagai anomali.

“Kita tidak menyalahkan siapa-siapa, namun kita sepakat bahwa pendidikan itu dimulai dari keluarga dan kami menekankan pentingnya anak-anak dari keluarga pelaku yang menjadi korban dalam peristiwa tersebut diperhatikan aspek pembinaan dan pendidikannya. Keluarga-keluarga harus diberikan edukasi dan literasi mengenai kebangsaan dan keragaman” pinta Anwar.  

Dewi Ambar Rukmi dari Lembaga Perlindungan Anak Sumatera Utara menekankan bahwa si anak merupakan tanggungjawab pemerintah untuk melakukan berbagai usaha agar radikalisasi terhadap anak segera berhenti.
Si anak perlu dijauhkan dari keluarga yang mendoktrin agar paham-paham radikal dengan cara kekerasan yang selama ini telah tertanam dalam fikirannya dapat hilang. Perlu penguatan karakter anak khusunya karakter kebangsaan dan ideologi Pancasila” ujarnya.

Di tempat sama, Sulaiman Zuhdi Manik, Koordinator Media dan Publikasi Yayasan PKPA, menekankan lembaganya berharap masa depan terbaik bagi si anak hendaknya menjadi bagian dari prioritas pertimbangan dan penanganan yang akan dilakukan pemerintah kedepan.

“Selain pendidikan si anak, unsur komunikasi si anak kedepan harus diperhatikan, karena dalam kasus ini proses radikalisasi anak sangat dipengaruhi oleh pesan yang selama ini diterimanya, siapa pemberi pesan, media yang digunakan dalam menyampaikan pesan, oleh sebab itu aspek sender (perekrut) dan pemberi pesan harus diperhatikan .” ujar Sulaiman. (rel jpa sumut/red)



Share:
Komentar

Berita Terkini